Wednesday, December 11, 2013

TUGAS SIWASIDDHANTA II (SANGGAH MERAJAN) I. Pendahuluan Pura Keluarga adalah pura yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Merajan atau sanggah dalam sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala dan juga Tri Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata. Dasar dari Tri Angga, Sanggah atau Merajan yaitu sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya yaitu rumah itu sendiri yang di ibaratkan badan manusia, nista angganya yaitu perkebunan/pekarangan. Seperti struktur badan manusia yang tidak bisa terpisahkan oleh kepala, badan dan kaki. Dasar Tri Mandala itu sendiri Merajan dikatakan sebagai utamanya, sedangkan kelurga adalah madyanya dan nistanya yaitu pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur ataupun utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, di hujani cucuran air tetangga dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tersebut dapat di tinggikan menjadi Merajan. Dasar Tri Hita Karana dalam berbicara soal Merajan yaitu sebuah tempat dimana Prahayangan tempat untuk memuja Tuhan dan roh leluhur menjadi satu. Selain keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Tattwa dan sejarah pada saat orang Bali mengenal zaman batu kira-kira 2500SM hingga 500SM sudah memiliki sebuah keyakinan akan roh leluhur. Namun media untuk melakukan pemujaan sangatlah sederhana, mereka hanya menggunakan tumpukan tugu ada yang disebut dengan Menhir dan ada juga yang dinamakan dengan tugu batu. Sesudah agama Hindu datang ke Bali, tempat pemujaan itu dirubah bentuknya sesuai dengan konsep yang dibawa oleh orang suci seperti Rsi Markandeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga empat putra Hyang Geni Jaya, barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama Merajan. Sebelum Mpu Kuturan datang ke Bali, tahun 1019-1042 zaman pemerintahan raja Erlangga di jawa, beliau menyatukan sembilan sekte yaitu Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, Surya dan Ganapatya. Namun yang paling dominan adalah sekte Siwa Siddhanta yang semakin banyak dipuja di Bali dari pada dewata yang lain. Mpu Kuturanlah yang menyatukan tersebut dengan konsep Tri Murti. Tri Murti yang terdapat di prahayangan jagat, dibuatkan tempat suci bernama khayangan tiga. Pura Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung yaitu untuk memuja Siwa Brahma dan Wisnu. Untuk di Mrajan itu sendiri, Tri Murti dipuja dengan konsep Rong Tiga. Dikanan dilinggihkan Brahma, di kiri adalah Wisnu dan ditengah adalah Siwa. Itulah yang disebut dengan Tri Purusa (Anom, 2009:1-5). Jadi dengan demikian Khayangan Tiga dan Merajan adalah mencerminkan berbagai macam aliran yang pernah berkembang di masyarakat Bali. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang ada. Dengan mengetahui sejarah pembangunan Merajan tersebut, paling tidak dijadikan sebuah pedoman bagi kita di masa kini, bahwa leluhur dulu sekitar seribu tahun yang lalu telah mampu menyelesaikan masalah keberagaman sekte yang tumbuh di masyarakat dengan sangat bijaksana, sehingga persatuan dan kesatuan masyarakat masih tetap terjaga. Jika dilihat dari Lontar Loka Pala yang berbunyi “...............seperti manusia yang sudah lupa dengan saya. Sayalah yang menyebabkan ada mereka, saya tiada lain adalah Sang Hyang Guru Reka, yang mengadakan seluruh isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang Kawitan yang beraga Sang Hyang Uma Kala dan saya juga yang dipuja dengan Brahma Wisnu dan Siwa. Ingatlah Semuanya. Menjadi satu dalam Rong Tiga dan sayalah yang mencipta, saya memelihara dan saya jugalah yang melebur..........” Dari kutipan itu Jika kita paham, maka berbakti kepada leluhur lewat mrajan dengan rong tiga adalah sebuah keharusan agar kita selamat dan terhindar dari bahaya. Dalam lontar Padma Bhuwana dijelaskan bagaimana sebuah arti dari mrajan itu sendiri sebagai sebuah tempat untuk memuja kebesaran Tuhan dengan para roh leluhur dengan cara seperti itu manusia dapat menikmati sebuah kesejahteraan di bumi. Dari lontar tersebut bahwa Merajan adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga para roh leluhur beserta Dewa Tri Murti yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan merupakan sebuah upaya manusia untuk menuju sebuah keadaan yang sejahtera (Anom, 2009:5-8). II. Pembahasan 1. Pengertian Merajan Gambar 1. Sanggah/Pamerajan Sumber: Dokumen Pribadi Kata sanggar yang secara harafiah berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjunjung atau memuja. Jadi dengan demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabawa atau manifestasi beliau. Sedangkan untuk kata Merajan/Pamerajan ialah berasal dari kata raja mendapat awalan “pe” dan “me” serta akhiran “an” sehingga menjadi pamerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala dank arena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa/ bhatara serta dibuatkan pura Khayangan. Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki makna atau arti yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pemujaan kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Soebandi, 2008:24). Pada saat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi misalnya hari Raya Kuningan, masyarakat Hindu di Bali biasanya melakukan berziarah ke tempat-tempat suci tersebut guna memberi hormat sebagai penghargaan kita kepada roh-roh suci yang telah dhinarma dimasing-masing tempat tersebut. Akan tetapi karena tempat suci itu letaknya berjauhan dan tidak mungkin bisa dicapai dalam satu hari perjalanan, sehingga untuk memenuhi maksud/tujuan, maka tiap ikatan keluarga diwajibkan membuat pamerajan di Lingkungannya masing-masing sebagai perluasan Sanggah tadi dan didalam halaman Pamerajan itulah didirikan bangunan/pelinggih, sebagai simbol dari Sad Khayangan atau Sad Khayangan dalam bentuk mini sebagai tempat penyawangan (Soeka, 1993:14-15). 2. Fungsi Sanggah/Pamerajan. Berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajaan adalah berfungsi:  Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur/Kawitan.  Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga.  Sebagai tempat kegiatan sosial/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16). Menurut Tutur Sasana menyebutkan, fungsi merajan bagi umat Hindu adalah sebagai berikut: 1. Merajan sebagai tempat pemujaan roh leluhur. Menurut Lontar Gong Besi yang berbunyi sebagai berikut: “....ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen bapanta nga Sang Paraatma ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Madia raganta, Brahma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga...”. Artinya: “....namanya beliau Sang Atma pada Kamulan sebelah kanan adalah pelinggih bapakmu bernama Paratma ada. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Sang Siwatma adalah Ibu, di Kamulan ruang tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibi-Bapak yang berwujud Sang Hyang Tunggal, menyatukan wujud....” Berdasarkan kutipan lontar di atas dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan merupakan tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Atma yang telah mencapai ke alam kedewataan. Adapun tujuan utama, mengapa roh leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar keturunannya dapat dengan mudah menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh leluhur menurut sastra agama sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak pernah berbakti kepada roh suci leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya, maka keturunannya akan menemui kesengsaraan (Winanti, 2009:25-26). 2. Sebagai Pembina Rohani. Merajan dikatakan memiliki fungsi sebagai pembina rohani karena di tempat suci itulah sebuah keluarga dapat meraih ketenangan rohani. Tujuan manusia hidup adalah untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin. Tuhan telah menganugerahi manusia badan jasmani dan rohani. Jasmani dan rohani itu merupakan alat untuk mencpai tujuan hidup. Dalam Brahmana Purana disebutkan, manusia adalah alat untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksa. Tujuan hidup itu bisa dicapai jika ada keseimbangan jasmani dan rohani. Dengan adanya merajan, keluarga selalu diingatkan pada aspek-aspek rohani, karena areal merajan adalah kawasan suci. Dengan adanya areal suci, maka umat setiap saat dimotivasi untuk menyucikan dirinya (Wianti, 2009:29). 3. Untuk Melangsungkan Upacara Perkawinan dan Tuwun Tanah. Selain sebagai tempat menyembah roh leluhur, fungsi merajan adalah untuk memanjatkan doa dalam melangsungkan upacara perkawinan. Upacara perkawinan yang dilangsungkan di merajan, di hadapan pelinggih Kamulan adalah upacara “makala-kalaan”. Tujuan upacara itu yakni mohon anugrah agar pengantin atau pasturi sukses mendapat keturunan yang suputra. Sedangkan untuk melangsungkan upacara perkawinan, juga untuk melakukan upacara Tuwun Tanah bagi si bayi untuk pertama kalinya. Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia satu oton. Makna upacara ini adalah untuk memohon kasih sayang dan perlindungan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa atas kehidupan bayi selama di dunia ini. Permohonan itu agar disaksikan pula oleh Bhatara Hyang Guru di Kamulan. 4. Menggalang Persatuan dan Kesatuan Keluarga. Pada saat melakukan upacara keagamaan, lebih-lebih pada saat hari raya, masing-masing anggota keluarga memiliki tugas tersendiri. Misalnya ibu membuatkan banten, ayah menyiapkan peralatannya, anak-anak menghias merajan atau wastra, tedung dan sebagainya. Dalam pelaksanaan ini, maka mereka bekerja sama dan melakukan pekerjaannya dengan penuh rasa bakti. Jika ini selalu dilakukan, maka anggota keluarga sering melakukan komunikasi atau curhat sehingga dari komnukasi itu timbuh rasa kasih sayang sehingga dapat menjaga kerukunan keluarga (Winanti, 2009:34). 5. Sebagai Piranti Pendidikan dan Disiplin. Fungsi merajan bagi pendidikan Agama Hindu, yakni merajan sebagai piranti peningkatan sradha dan bhakti. Pendidikan agama hindu adalah proses pendewasaan umat melalui pengajaran dan pendidikan Tri Kerangka ajaran agama Hindu yaitu (1) Tattwa atau filsafat (2) susila atau etika (3) upacara atau ritual. Ketiga kerangka ini menuntun umat agar menuju ke jalan yang baik dan benar (Winanti, 2009:35). Dari ajaran itulah manusia dapat berdisiplin dan tahu untuk apa sebenarnya ia hidup. 6. Sebagai Pemelihara Pembina Kebudayaan. Dalam melakukan upacara di merajan, ada berbagai macam seni budaya yang bisa ditampilkan. Misalnya seni ukir, karawitan, seni suara, seni tari dan sebagainya. Dengan adanya merajan, maka ada latihan menabuh, melantunkan kidung dan sering di tampilkan tarian, seperti tari wali rejang renteng, rejang dewa, topeng. Selain itu oleh karena ada kegiatan di merajan, berkembang pula seni rias, dekorasi dan sebagainya (Winanti, 2009:38). 3. Sejarah Singkat Berdirinya Merajan Kemiri Mpu Dwijaksara yang datang ke Bali tahun Saka 1265. Disebutkan bahwa beliau punya seorang putra bernama Mpu Jiwaksara dan bergelar Ki Patih Wulung. Kemudian beliau beristrikan Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua orang putra yang tertua bernama I Gusti Smaranata dan adiknya bernama I Gusti Bandesa Manik. Adapun I Gusti Smaranata beristrikan Ni Ayu Rudini menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare Angon. Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni Luh Ayu Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti Rare Angon. Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu sebagai senapati perang oleh Dalem Cili Kresna Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang di Pasuruan, akhirnya kalah Sri Aji Pasuruan, namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa marah Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali, berikut seluruh kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali, sebagai bukti beliau telah mengalahkan negeri Pasuruan. Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran seperti Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa di balairung. Ia telah berhasil mengalahkan negeri Pasuruan seperti Aji Pasuruan serta mengahncurkan istana Pasuruan yang di lapisi permata dan ia mendapatkan gelar menjadi Bandesa Manik Mas hingga keturunanya. Nama ini diberi atas angurah dari Sri Aji Dalem Waturenggong. Entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai pemuka Desa Mas secara bergantian sebagai bandesa di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan. Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung Anom Sirikan sebagai pemegang kekuasaan Desa Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna Pangkaja, Dalem Sukawati sebutan lainnya, sekitar tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur ke Puri Sukawati, seperti Tombak, keris, mirah manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir datangnya kehancuran, Ki Bandesa tidak setuju menyerahkannya karena semua itu adalah pustaka/ senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus perang maha dahsyat. Dikisahkan perang mulai berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas telah bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan, sebelah selatan Desa Mas, semua siap menunggu kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling penggal, berhadapan-hadapan dengan perwira, mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh, karena rasa sayang dan bakti kepada rajanya. Tak terhitung yang mati dan terluka ibarat perang Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi Bandesa Manik Mas, bagikan Abhimaniu yang direbut seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Akhirnya balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada berkutik. Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka yang masih hidup dan seluruh keluarganya berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana Mas. Ada yang bersembunyi di Tangkulak, ada di Badulu, ada di Tampaksiring, ada di Tegalalang, Pujungan, ada menuju Buleleng, Bon Dalem, Banyu Atis, Banyuning, Kubu Tambahan, Gitgit, Baturiti, Candi Kuning, Mengwi Kapal, Kaba-Kaba, Jembrana, Negara, Yeh Embang, Badung, Kapisah, Pedungan, ada di Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin, ada di Pabangbai, ada di Karangasem, di Klungkung, Nusa Penida, ada di Abianbase, ada di Balahpane, ada di Bukit, dan ada di Desa Dusun (perkampungan) memenuhi jagat Bali. Untuk penyebaran rakyat-rakyatnya itu yang menuju ke Buleleng. Sehingga dari sinilah Keturunan-keturunannya itu mendirikan sebuah Merajan untuk pemujaan leluhur dulu yang telah berjasa yaitu Kyayi Bendesa Manik Mas yang berada di Desa Mas Gianyar. Kemudian untuk rakyatnya yang ada di Buleleng juga menyebar ada Banyuning, Gitgit, Bon Dalem, Banyu Atis, Seririt. Untuk daerah Seririt juga mengalami penyebaran ada seririt Loka Paksa, Pengastulan maupun daerah seririt lainnya. Untuk leleuhur yang ada di daerah Pengastulan-Seririt inilah merupakan awal dari berdirinya Merajaan Kemiri yang bertempat tinggal di Desa Penarukan Kecamatan Buleleng-Singaraja. Jadi para leluhur yang ada di Desa Pengastulan itu telah merantau ke daerah-daerah dan membuat sanggah/merajan pucuk untuk pemujaan para leluhur yang ada disana. Agar dalam suatu keluarga itu dapat terciptanya keharmonisan, kesejahteraan dan kedamaian serta terhindar dari bahaya. Untuk Odalan di Merajan Kemiri jatuh pada setiap 10 tahun sekali bertepatan pada Buda Wage Klowon. Dimna kata dari Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir. Jadi pada saat Odalan merupakan hari lahir di-stanakannya Ida Bethara di Pura atau Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali. Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal). (Tersedia pada: http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/) 4. DENAH MERAJAN KEMIRI 44 Keterangan: 1. Piyasan Siwa 11. Palinggih Surya/Sanggah Surya 2. Rong Dua/Kemulan Nganten 12. Palinggih Beratap Pane 3. Rong Telu 13. Palinggih Maperucut 4. Palingggih Segara 14. Palinggih Pura Penataran Agung 5. Taksu Siwa 15. Menjangan Salwang 6. Gedong Siwa 16. Balai Pasarian/Pesaren 7. Tugu Panglurah 17. Kamulan Taksu 8. Gedong Kawitan 18. Genah Pralingga 9. Palinggih Limas Sari 19. Piyasan Kawitan 10. Limas Catu 5. Pelinggih-Pelinggih Yang Terdapat Di Merajan Kemiri 1) Jro Gede/ Penunggu Karang. Gambar 1. Jro Gede/Penunggu Karang Sumber: Dokumen Pribadi Jro Gede ini yang terletak di depan gapura dari sanggah. Di Bali Jro Gede yang merupakan kristalisasi sekte Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha yang merupakan tempat berstananya Dewa Gana, dimana sekte dari Dewa Ganesha/Jro Gede ini berfungsi sebagai penjaga karang rumah atau sebagai pelindung terhadap makhluk-makhluk yang berusaha untuk menggangu kita. Selain itu pakaian/wastra saput dari Jro Gede yang hitam putih itu menandakan keseimbangan yang ada di alam ini. Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan, pagerwesi serta rahianan yang di anggap besar lainnya yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari. Sedangkan untuk sehari-harinya menggunakan banten urasari saja. Mantra yang di ucapkan di penunggu karang ini yaitu “Ong ang ang prabhawati sarwa jiwa mrthaya nama swaha, ih ah ing bhupatinya nama swaha”. 2) Gedong dan Piyasan Siwa. a) Gedong di Siwa Gambar 2. Gedong Siwa/Sari Sumber : Dokumen Pribadi Gambar diatas yang menunjukan Gambar Gedong Siwa. Gedong Siwa/Sari yang bentuknya sama dengan gedong lainnya. Bagian bawah adalah dasar atau bataran, bagian tengah adalah badan yang menyangga ruang gedong yang bertiang empat. Bagian atas adalah atap yang puncaknya menciut lancip (Winanti, 2009:43). Gedong Siwa/Sari fungsinya adalah persimpangan Pemujaan Dewa-dewa di Pura-Pura Khayangan Jagat Bali. Yang di Puja disana adalah Dewa-Dewa di Pura Khayangan Jagat Bali. Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan, pagerwesi serta rahianan yang di anggap besar lainnya yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk sehari-harinya menggunakan banten urasari saja. Adapun mantra yang di ucapkan di Gedong Siwa/Sari yaitu: “Ong Suntha yokike namah, sento yokiko pramada namo namah, hina sana hina widdhi hina mantra, tan teten wangsa tan pramada ya namo namah” b) Piyasan di Siwa Gambar 3. Piyasan Siwa Sumber: Dokumen Pribadi Balai Pengaruman/Piyasan merupakan palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Bale Piysan (Pahyasan) karena pralingga-pralingga dihias ketika di linggihkan di sini (Winanti, 2009:45). Pada gamabr di atas dinamakan Piyasan Siwa. Piyasan Siwa tersebut merupakan tempat pertemuan Ida Bhatara- Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di sanggah pamerajan. Wastranya identik dengan warna putih dan kuning yang mengandung makna kesucian. Mantra yang di ucapkan di piyasan yaitu: “Ih Ah Ing Bhupati ya namah sawaha Ang Ung Mang Ong Sang Hyang Tunggal Amerthya saktiya Namah swaha” Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk banten/canang sehari-harinya menggunakan urasari/lenga wangi. 3). Gedong dan Piyasan untuk Di Kawitan. a) Gedong kawitan Gambar 4. Gedong Kawitan Sumber: Dokumen Pribadi Gambar Gedong untuk Kawitan yang merupakan tempat pemujaan terhadap leluhur/tempat bersthananya para leluhur. Gedong Kawitan ini merupakan tempat penyungsungan para leluhur kita yang terdahulu sebagai rasa bhakti dan hormat kita terhadap para leluhur. Rerahinan untuk palinggih ini yaitu jatuh pada saat Anggara Kasih Dukut, banten yang di persembahkan pada saat rahinan ini yaitu Daksina, Pengulapan, Pengambeyan, Sayut Pebersihan, Sayut yang berisi tipat Cakra Munyeng 2 tanding, Sayut Pajegan, Sayut Pasunaran, Telaga Pancoran, Sri Sedana, Pasunaran Artha Merta, Tipat 1 kelan, Canang Sari, Canang Pemendak, Pajegan, Raka-raka, Segehan, Banyuawangan. Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya besar seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk sehari-harinya menghaturkan banten urasari/lenga wangi. Mantra yang dihaturkan di saat persembahyangan di Palinggih Gedong kawitan yaitu: Om Brahmà Wisnu Iswara dewam Tripurusa suddhàtmakam Tridewa trimurti lokam Sarwa wighna winasanam Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana. Selain itu ada juga mantra yang dilantunkan di palinggih ini yaitu: “Mang Ung Ang, Ang Ung Mang Ong Hrang Hring sah Tri Purusa Narendra namah Ong Sri Cauling dewi maha waktribhyo Namah swaha. Ong Ang Brahma Pagniyan namah Ong Ung Wisnu antaratma Siwa munaya Namah swaha” b). Piyasan Kawitan Gambar 5: Piyasan Kawitan Sumber: Dokumen Pribadi Dilihat dari Piyasan Gedong Kawitan ini sama maknanya dengan piyasan yang terdapat pada Piyasan di Siwa sebagai tempat peristirahatan/tempat pertemuan, namun disini yang membedakan yaitu di Piyasan Siwa merupakan tempat peristirahatan para dewa-dewa sedangkan untuk di Piyasan Kawitan yaitu tempat peristirahatan para leluhur. Wastranya identik dengan warna merah yang mengandung makna keberanian. Mantra yang di ucapkan di piyasan yaitu: “Ih Ah Ing Bhupati ya namah sawaha Ang Ung Mang Ong Sang Hyang Tunggal Amerthya saktiya Namah swaha” Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk banten sehari-harinya menggunakan ura sari/ lenga wangi. 4) Kemulan. Kata Kemulan yang berasal dari kata Mula (samkrit) yang berarti: akar, umbi, dasar permulaan, asal (Kamus kecil samkrit-Indonesia, 1983.180). Awalan ka dan akhiran an menunjukkan tempat, dalam hal ini yang dimkasud yaitu tempat pemujaan (Swastika, 2007:19). Sejarah tentang Kamulan ini menurut Tattwa jelas bersumber dari dari ajaran Hindu yaitu dipandang dari sudut aspek Jnana Kanda dan aspek Etika. Aspek Jnana Kanda adalah bersumber dari Yoga, Wedanta, Samkhya dan Siwa Siddhanta yaitu identik dengan Tri Purusa Adapun yang mengartikan Kamulan yang terdapat dalam Merajan Kemiri ada 2 yaitu: a) Kemulan Rong Dua Gambar 6. Kemulan Rong Dua Sumber: Dokumen pribadi Kamulan Rong Dua ini sangat berbeda sekali dengan penjelasan dari Kamulan itu yang lebih menekankan pada Tri Purusa, Bhatara Guru maupun Tri Murti. Namun dalam Merajan Kemiri ini menurut I Ketut Saka menyatakan bahwa Kemulan Rong Dua yang disebut juga dengan kemulan Nganten. Kalau lebih di telusuri lagi dimana orang yang Nganten/Menikah itu jika dikaji dalam ajaran-ajaran suci agama orang menikah itu merupakan pertemuan antara unsur Purusa (Laki-laki) dan Pradana (Perempuan) yang mengalami pertemuan. Jika dikaitkan dalam kristalisasi Siwa Siddhanta dapat dilihat dalam bentuk Panca Yadnya khususnya pada Manusia Yadnya. Karena Rong Dua tersebut yang akan dijadikan tempat untuk Upacara Manusa Yadnya seperti upacara pernikahan/pawiwahan yang fungsinya untuk memohon penganugrahan terhadap pasangan yang baru menikah. Oleh karena itu Rong Dua ini dinamakan Kemulan Nganten. Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari. Untuk sehari-harinya menggunakan banten ura sari/ lenga wangi. b) Kemulan Rong Tiga Gambar 7. Kemulan Rong Tiga Sumber: Dokumen pribadi Kemulan Rong Tiga merupakan kristalisasi dari ajaran Siwa Siddhanta yaitu Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa dan sesuai pula dengan Brahma, Wisnu dan Iswara serta Ia sesuai juga dengan fungsinya sebagai Guru, maka ia disebut dengan Bhatara Guru yang berdimensi tiga pula yaitu Guru Purwam (Parama Siwa), Guru Madyam (sadhasiwa), dan Guru Rupam (siwa). Jadi sesungguhnya yang dipuja pada Kemulan yaitu Hyang Widhi dalam perwujudan sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa dan Sanghyang Tri Murti (Brahma, Siwa dan Wisnu) di rong bagian kanan bersemayamnya Brahma, Tengah Siwa dan sebelah kiri Wisnu. Dalam lontar Usana dewa yang menyatakan “Yang berstana pada sanggah kamulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Atma yaitu Bapak. Dikemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu Ibu. Dikemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tubuh” (Suhardana, 2006:123). Maksud dari pada pembanguan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam. Yang dimakasud dari Tri Rnam yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu: 1. Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita. 2. Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan kita hingga menjadi dewasa. 3. Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita mengenai agama, kebudayaan dan lain-lain. Demikian maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang merupakan Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka, 1993:10). Wastra yang digunakan pada palinggih Rong Tiga ini yaitu Putih dan Kuning dengan makna kesucian. Puja mantra yang dilantunkan di Kamulan yaitu Guru Stawa-Guru Stawa tersebut adalah sebagai berikut: “Om dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa sadha nityam, sarwa jagatjiwatmanam, Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam, guru dewa sudha nityam” Terjemahan: Dewa-dewa tiga dewa, Dewa Trimurti yang ada dalam Lingga tiga, Dewa Tri Purusa, yang senantiasa suci yang menjiwai segenap isi dunia. Dewa yang memberi pengetahuan yang memberi wujud, yang memberi bumi tempat hidup, yang menjadi asal mula, yang merupakan dewa di alam sunyata, dewa yang selalu memberikan tuntunan suci (Winanti, 2009:33). Untuk canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk ditujukan roh para leluhur dengan menghaturkan banten ajuman di letakkan di meja di bawah dari Rong Tiga. Sedangkan ditinjau dari aspek Etika adalah kewjiban (swadharma) dari keturunan atau pretisentana untuk selalu memuja leluhur. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh Umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali adalah bersumber dari ajaran Agama Hindu yang lazim disebut dengan Sraddha (Swastika, 2007:24). 5) Palinggih Segara Gambar 8. Palinggih Segara Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini adalah pengayatan segara, fungsinya untuk menstanakan dewa baruna sebagai dewa lautan dan sebagai pembersih dari kekotoran (leteh). Banten yang dihaturkan pada saat hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. Untuk banten sehari-harinya menggunakan banten ura sari/lenga wangi. Puja mantra yang di lantunkan pada palinggih ini yaitu: “Om Jala nidhi murti dewam Brahma Wisnu masariram Ghoraya ghora ghurnitam Rudra murti ghornataram” 6) Taksu Taksu adalah nama sebuah pelinggih yang terdapat disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, Gedong Siwa dan Kamulan Taksu. Taksu berarti daya Magic atau sakti. Sakti adalah simbol daripada Bala atau Kekuatan (Swastika, 2007:19). Makna Taksu dalam merajan yaitu : Indriyani parany ahur indriyebhyah param manah. manasas tu para budhir yo buddheh pratas tusah. (Bhagawad Gita Gita IV.42). Maksudnya: Sempurnakanlah indriamu, tetapi kesempurnaan indria berada di bawah kesempurnaan pikiran, kekuatan pikiran berada dalam pencerahan kesadaran budhi. Yang paling suci adalah Atman. Memelihara kesehatan indria agar dapat berfungsi secara sempurna merupakan upaya hidup sehari-hari yang wajib dilakukan. Indria tersebut adalah alat untuk dapat kita merasakan adanya suka dan duka dalam kehidupan ini. Cuma indria yang sehat sempurna itu harus digunakan di bawah kendali pikiran yang cerdas. Kecerdasan pikiran itu dilandasi oleh kesadaran budhi yang bijaksana. Struktur diri yang demikian itulah yang akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam wujud perilaku. Indria, pikiran dan kesadaran budhi yang mampu menjadi media kesucian Atman itulah yang menyebabkan orang disebut mataksu dalam hidupnya. Kata ''taksu'' berasal dari kata ''aksi'' artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut mataksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisis oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang mataksu. a) Taksu yang terdapat di samping Gedong Siwa Gambar 9. Taksu Gedong Siwa Sumber: Dokumen Pribadi Taksu yang terdapat disamping Gedong Siwa merupakan simbol sakti yang memiliki kekuatan magis. Banten yang di haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. Adapun mantra yang dilantunkan untuk di pelinggih taksu ini yaitu: “Ong Ang Ah Mahadewi Jagatpati ya, namo namah swaha, Ong Ung Prajapati ya namah, Ong Ing Prapitaya namah, Ong Mang Mataya namah, Ong Ing Paramatyanamah”. 7) Tugu Panglurah Gambar 10. Tugu Panglurah Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut tugu Panglurah/Pelinggih Pangrurah. Bangunan ini merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan (Winanti, 2009:42). Dalam Penghayatan agama Immanent ( sekala ) Tugu Panglurah adalah palinggih ( Sthana ) para Lurah, iringan pengawal para Dewa Istadewata Hyang Widhi, yang di puja pada waktu hari Subadewasa. Upacara yang dilaksanakan di suatu pura atau sanggah atau Merajan. Fungsinya adalah sebagai Pengawal Pribadi dari Ista Dewata Hyang Widhi. Selain itu makna pelinggih Panglrah ini adalah untuk menstanakan Sang Catur Sanak yang telah suci. Sang Hyang Atma yang telah suci berstana di palinggih pretisentana atau keturunannya yang masih hidup (Wianti, 2009:32). Palinggih Pangrurah ini merupakan manifesatsi dari Sang Hyang Widhi dengan Swabhawa “Bhuta Dewa” yang maksudnya setengah Dewa setengah Bhuta. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para dewa, disamping itu sebagai juru bicara antara dewa, Dewata dengan manusia dengan umatnya. Dengan kata lain Beliau sebagai penyampai dari sembah bhaktinya umat, dan penyampai anugrah dari para dewa. (Sudarsana, 1998:70) Banten yang di haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. Mantra yang dihaturkan untuk di Tugu Panglurah yaitu: “Ong Ang Brahmana nama; Ung Wisnu Antaratma namah; Mang Iswara Paramatmane namah; Ong Sadarudra Antyaatmana namah; Sadasiwa niskalatmana namah; Paramasiwa sunyatmana namah; Ih Ah Ing Panglurah Sedan ya namah swaha” (Manuaba, 2011:244). 8) Bhatara Sami. Gambar 11. Bhatara Sami Sumber: Dokumentasi Pribadi Pelinggih yang berjejer dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara Sami yang disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping pelinggih Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari Sanggah Jajaran Kemiri. Kemudian Padmasana/Sanggah Surya yang berada di tengah-tengah itu merupakan tempat berstananya Bhatara Surya (Sekte Sora). Untuk disebelah kirinya Padmasana/Sanggah Surya yang dinamakan pelinggih Penataran Agung, (Beratap Pane) Batukaru, (Maperucut) Uluwatu, Menjangan Salwang. Disebelah kanannya Limas Sari dan Limas Catu. Banten yang di haturkan setiap palinggih di jajaran Kamiri ini tentunya pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. Sedangkan untuk tiap harinya biasanya hanya menganturkan banten urasari. a) Limas Sari Gambar 12. Palinggih Limas Sari Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut Limascari, dimana Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pradana dan menjadi satu kesatuan dengan pelinggih limascatu. Kedua pelinggih ini menggambarkan fungsi sebagai ardanareswari: pradana – purusha dan mengandung makna rwa bhineda Mantram yang di lantunkan di palinggih ini yaitu: “Ong Ang Geng Genijaya ya namah Ong Ang dewa dewi maha siddhi Sarwa Karya Siddhi tuwi siddhaya dirgahayu Namah swaha” b) Limas Catu Gambar 13. Palinggih Limas catu Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut limascatu dimana Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai purusha (laki-laki) dan menjadi satu kesatuan dengan bangunan limasari dalam manifestasi sebagai ardanareswari: pradana – purusha dan mengandung makna rwa bhineda. c) Sanggah Surya/Sanggar Surya Gambar 14. Sanggah Surya Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut sanggah Surya atau disebut Sanggah Natah atau Sanggah Pangijeng. Fungsinya adalah untuk menyinari semua yang ada di paekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat . Yang Malinggih di sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa. d) Palinggih Penataran Agung Gambar 15. Palinggih Pangayatan Penataran Agung Sumber: Dokumen Pribadi Pelinggih di atas merupakan palinggih untuk pengayatan di pura Penataran Agung yang terletak di Pura Besakih. Pura Penataran Agung merupakan simbol dari Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Amabal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyoginya melakukan bhakti kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi serta bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu (Gunawan, 2012:8-9). e) Palinggih Beratap Pane dan Palinggih Maperucut Gambar 16. Palinggih Beratap Pane Gambar 17. Palinggih Maperucut Sumber: Dokumen Pribadi Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut pelinggih beratap pane dan yang malinggih di Gedong Matudung pane adalah Ida Bethara di Gunung Lebah dan menjadi satu kesatuan dengan pelinggih beratap perucut yang merupakan stana Ida Bethara di Gunung Agung. Untuk Palinggih yang beratap pane sebagai tempat pengayatan Pura di Batu Karu yang merupakan stana dari Dewa Mahadewa jika dilihat dari Dewata nawa sangga. Batu Karu ini menempati arah Barat, dengan warna Kuning. Sedangkan untuk Palinggih Maperucut merupakan palinggih untuk pengayatan pura yang ada di Uluwatu merupakan stana dari Dewa Rudra yang menempati arah Barat Daya. Filsafat konsep ini adalah men-simbolkan Hyang Widhi sebagai “rwa bhineda” yakni salah satu bentuk pemujaan kita terhadap kemaha kuasaan-Nya. Konsep rwa bhineda ini adalah konsep penghayatan Hyang Widhi yang senantiasa menciptakan sesuatu yang berwujud berlawanan misalnya: siang-malam, laki-perempuan, baik-buruk, tinggi-rendah, panjang-pendek, panas-dingin, dan seterusnya. Konsep rua bhineda ini kemudian berkembang di Bali karena para Maha Rsi melihat alam Bali yang unit, yaitu adanya Gunung yang tertinggi, yaitu Gunung Agung dan Gunung yang terendah, yaitu Gunung Batur atau disebut juga sebagai Gunung Lebah. Dengan melihat keunikan alam ini kita akan menghayati betapa kebesaran Hyang Widhi yang telah menciptakannya. Tuntunan para Maha Rsi seperti Rsi Markandeya dan Mpu Kuturan kepada umat Hindu di Bali agar mewujudkan kebesaran Hyang Widhi itu dalam palinggih yang beratap Kerucut dan yang beratap Pane. Dengan “nyasa” atau simbol itu manusia yang bersembahyang akan merasakan getaran kemaha kuasaan-Nya e) Palinggih Menjangan Seluang/Salwang Gambar 18. Palinggih Menjangan Salwang Sumber: Dokumen Pribadi Makna Palinggih Manjangan Salwang yaitu bangunan yang bertiang lima buah mengandung makna simbol Panca Rsi, Kepala Menjangan mengandung makna Sang Putus atau Maha Rsi, Binatang menjangan bertandung bercabang-cabang mengandung maksud kekuasaan Kerajaan Majapahit (Sudarsana, 1998:58). Menjangan Salwang yang disebut juga dengan Sanggah Lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utama palinggih ini yaitu terdapat sebuah kepala Menjangan (Suhardana, 2006:120-121). Dibuatkan pelinggih ini yaitu untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Empu Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali Antara lain : - Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa Pakraman - Adanya Khayangan Jagat - Adnyan Sad Kahyangan Di Bali - Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman. - Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya. - Mengenal Arsitektur tradisional Bali. - Palinggih-Palinggih Meru,Tugu dan Gedong. Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya. Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan. Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali yaitu : - Empu Semeru, - Empu Gana, - Empu Kuturan, - Empu Gnijaya, - Empu Baradah. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “Samuan Tiga” hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan. Mantram yang di lantunkan di palinggih Menjangan Salwang ini yaitu: “Ong Ang Mang Dewi dimuteri bhuwana triyo Prathisthabhyo samudra jagat guru bhyo namah swaha Ong ah Suka dewi maha Laksmi Sri Giripati sukla pawitrani swaha” 9) Balai Pesarian/Pesaren Gambar 19. Balai Pesarian Sumber: Dokumen Pribadi Menurut Jro Mangku I Ketut Saka menyatakan bahwa Bangunan ini disebut Balai Pesarian yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan Menjangan Seluang. Seperti dijelaskan pada Pelinggih Menjangan Seluang (Salwang) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali beserta empu yang lainnya seperti ; Empu Semeru, Empu Garia, Empu Gnijaya dan Empu Baradah. Begitu pula dengan bangunan Balai Pesarian ini yaitu untuk menghormati jasa-jasa Rsi terutama Mpu Kuturan. Banten yang di haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten Raka-raka yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan, tumpeng, lauk pauk di atasnya di taruh canang tubungan. Untuk sehari-harinya menghaturkan canang ura sari/lenga wangi. Wastra yang dipergunakan yaitu warna merah dengan makna keberanian. Mantra yang dilantunkan yaitu : Ong Ang Brahma atma yenamah Ong Ung Wisnu antaratma yenamah Ong Mang Sri Prajapati Ye namah swaha 10) Kamulan Taksu Gambar 20. Kamulan Taksu Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut Kemulan Taksu terletak di bagian Selatan Menghadap ke Utara yang bersebelahan dengan Balai Pesarian/Pesaren. Seperti yang sudah di jelaskan di atas kata “taksu” itu berarti daya Magic atau Sakti. Jadi dengan demikian tempat yang paling dekat dan bisa dilakukan secara rutin setiap hari dalam melaksanakan Bhakti kepada para Leluhur ada di Sanggah Kamulan-Taksu (Swastika, 2005:19). Fungsi dari Kamulan Taksu ini adalah untuk memohon “Kesidhian” atau Keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, balian, guru, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan lain-lainnya. Wastra yang digunakan yaitu hitam putih (poleng) dengan makna lambang keseimbangan. Yang Malinggih di sana adalah Ratu Nyoman Sakti Pangadangan sebagai Dewaning Taksu. Bisa juga Sang Bhuta Kala Raja sebagai Sedahan Taksu. Banten yang di haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. 11) Genah Pralingga Gamabr 21. Genah Pralingga Sumber: Dokumen Pribadi Bangunan ini disebut Genah Pralingga (tempat menyimpan) Bagi umat Hindu terutama yang masih berada dalam tingkatan Karma dan Bhakti Marga, apa yang namanya simbol-simbol merupakan cara mudah dan alamiah dalam menjembatani alam pikiran sekala (nyata) menuju ke alam pikiran niskala (abstrak). Misalnya Kewangen merupakan salah satu contoh simbol Hyang Widhi sebagai Ardhanareswari. Begitu juga gambar Acintya yang sering disebut Sanghyang Licin juga merupakan simbol Hyang Widhi yang tak terpikirkan. Sistem pemujaan dengan simbolisasi ini lazim disebut dengan istilah Murti Puja yang acapkali digunakan sebagai simbol dalam Murti Puja ini adalah patung. Dalam wacana Hindu di Bali apa yang disebut patung sebenarnya dapat dibedakan atas beberapa istilah seperti: arca, pratima, togog dan lain-lain. Secara fisik material sesungguhnya benda tersebut memiliki persamaan terutama dilihat dari segi bahan yang digunakan, yaitu umumnya memakai batu, katu dan logam. Kecuali pratima yang bisa juga dibuat dari bahan permata, batu indah, uang kepeng dan lain-lain. Yang membedakan arca, pratima dan togog itu adalah dari segi proses pembuatan, fungsinya dan lokasi penempatannya. Arca dan pratima kedua-duanya adalah patung perwujudan dari Hyang Widhi (Dewa) atau Bhatara-Bhatari. Dalam pembuatannya, arca dan pratima melalui proses sakralisasi (penyucian) dan pasupati (menjadikan “berjiwa”). Karena arca dan pratima itu akan berfungsi sebagai media penuntun bhakti umat ke hadapan Hyang Widhi, para Dewa dan Bhatara-Bhatari. Dalam fungsinya di alam pikiran seorang yang bhakti, bukan fisik material dari simbol itu yang dituju melainkan “zat” yang ada dan telah hidup padanya. Karena arca dan pratima merupakan simbol sakral, maka penempatannya pun tidak boleh sembarangan. Arca dan pratima sudah lumrah disthanakan pada tempat suci (pura). Dan pada waktu piodalan biasanya disthanakan di Bale Pengaruman. Sebutan lain yang memiliki arti dan fungsi tidak jauh berbeda dengan pratima adalah pralingga dan patapakan. Selanjutnya mengenai togog. Dari segi proses pembuatannya togog umumnya tidak melalui sakralisasi, karena hanya berfungsi sebagai dekorasi semata. Penempatannya pun boleh sesuka hati yang empunya, contohnya: togog pohon kelapa, togog penari janger, dan lain-lainnya. Sedangkan bedogol yang biasanya dibuat dari ukuran agak lebih besar dari togog memiliki fungsi ganda. Bisa berfungsi magis (melalui pasupati) dan dapat pula berfungsi dekoratif (hiasan). Penempatannya biasanya di depan candi bentar, pura, palinggih, dan tempat-tempat yang dipandang tenget. Hari Raya untuk pralingga-pralingga yang ada di palinggih Genah Pralingga yaitu jatuh pada saat Buda Wage Kelawu dengan mempersembahkan banten Daksina, Pengulapan, Pengambeyan, Sayut Pebersihan, Sayut Madan-adan berjumlah 5, Sayut Artha Merta 1 tanding, Sayut Pasunaran, Telaga Pancoran 1 tanding, Sri Sedana 1 tanding yang (bahannya semua menggunakan taledan sayut), Semara Dewa, Semara Ratih dengan menggunakan cempaka, Sayut, Peras, Ajengan, Ketututan Naga Sari, Ketipat 1 kelan, Canang Sari, Canang Pemendak, Segehan, Banyuawangan, Pajegan 1 tanding, Raka-raka 1 tanding, Sayut Pajegan. Sedangkan untuk pada hari raya besar banten yang di haturkan di palinggih ini yaitu banten raka-rakaan yang terbentuk dari alasnya bokor, talam atau yang sejenisnya, di atasnya di lapisi dengan daun,kemudian buah, jajan, kacanag, serta lauknya di tata dan diatasnya di isi dengan canang tubungan/urasari dan untuk sehari-hari yaitu menghaturkan Ura Sari. 6. Konsep Penyatuan Siwa Siddhanta dalam Merajan Dalam Merajan yang sudah di paparkan dapat di lihat dari penyatuan Siwa Siddhanta yaitu dilihat dari setiap palinggih-palinggihnya yaitu : a. Jro Gede/Penunggu Karang ini kristalisasi sekte Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha. Karena Penunggu karang ini merupakan palinggih yang difungsikan untuk menjaga karang, mengendalikan unsur-unsur negatif. Maka dari itu Jro Gede/Penunggu Karang ini termasuk dalam sekte Ganpatya. b. Dari pemujaan untuk semua para dewa pada di Gedong Siwa/Sari dan Piyasaran Siwa dapat dilihat bahwa disini menyatakan sudah adanya penyatuan dari semua sekte yaitu Siwa Siddhanta Karena dalam Gedong Siwa/Bata ini mengandung makna untuk tempat pemujaan semua para Dewa-dewa. c. Gedong Kawitan dengan Piyasannya disini Merupakan Kristalisasi dari ajaran Siwa Siddhanta terutama pada sekte Rsi karena pemujaan terhadap leluhur yang sudah menyebarkan agama. Dalam ajaran sekte Rsi merupakan orang-orang suci yang sudah meneruskan keturunan dan memberikan wejangan agama-agama. Maka dari itu atas jasa beliau ia di puja di Gedong Kawitan. Selain dari sekte Rsi, disini juga temui konsep penyatuan Siwa Siddhanta yaitu jika dilihat dari segi banten dan mantra-mantra yang dihaturkan dalam Gedong Kawitan tersebut. d. Kamulan Rong Dua yang disebut dengan Kamulan Nganten. Orang yang menikah. Nganten dilihat dari filosofinya merupakan pertemuan unsur Purusa dan Pradhana, dilihat dari sumber-sumber ajaran Siwa Siddhnta yaitu Tattwa Jnana juga membahas tentang ajaran Purusa dan Pradhana. Dari Pradhanatattwa mempunyai sifat-sifat lupa, maka hal itu disebut dengan Pradhana-Purusa yang melahirkan citta dan guna. Citta adalah bentuk kasarnya Purusa, sedangkan guna adalah penjelmaan Pradhana Tattwa (Gunawan, 2012:65). Jadi dalam Kamulan Rong Dua sudah mengandung konsep penyatuan Siwa Siddhanta jika dilihat dari sumber-sumber ajaran Siwa Sidhanta. e. Kamulan Rong Tiga, juga mengandung konsep penyatuan Siwa Siddhanta jikia dilihat dari Sumber-sumber ajaran Siwa Siddhanta yaitu dalam lontar Wrahaspati Tattwa yaitu ajaran tentang Cetana (unsur kesadaran) yang terdiri dari tiga jenis bagian yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Siwatma Tattwa. Ktiganya ittu merupakan Sang Hyang Widhi sendiri yang berbeda kesadarannya (Gunawan, 2012:58). Jadi dalam konsep Tri Purusa dari sumber ajaran Siwa Siddhanta dalam Rong Tiga yaitu rong sebelah kanan Parama Atma/Parama Siwa Tattwa, Tengah Sadha Siwa Tattwa dan paling kiri Siwa Atma/Siwatma Tattwa. Dalam Lontar Bhuwana Kosa menyatakan bahwa sumber adanya kehidupan yaitu Tri Murti (Gunawan, 2012:52). Dalam Rong Tiga juga merupakan simbolis dari Tri Murti yaitu Brahma terletak di rong bagian selatan/kanan, Siwa rong bagian tengah dan Wisnu rong di bagian utara/kiri. Selain dari sumber ajarannya dari segi mantra juga menyatakan tentang ajaran Siwa Siddhanta diantaranya mantranya yaitu “Om dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa sadha nityam, sarwa jagatjiwatmanam, Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam, guru dewa sudha nityam”. f. Palinggih Segara, Palinggih ini yang berfungsi untuk pengayatan di Pura Segara tentunya dewa-dewa yang ada di pura segara diantaranya yaitu Dewa Baruna atau dewa sebagai pembersih. Jadi konsep penyatuan Siwa Siddhanta juga terdapat palinggih segara karena dilihat dari pemujaan para dewa-dewa. g. Taksu. Makna Taksu yaitu daya magic/sakti. Sakti yang mengandung simbol Bala atau Kekuatan. Disini dapat dilihat dari sekte Ganapatya. Dimana Dewa Ganesha yang diyakini sebagai dewa mengusir hantu/dewa pengusir daya magic yang negatif. h. Tugu Panglurah merupakan palinggih Bhatara Kala putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan (Winanti, 2009:42). Maka dari itu disini merupakan kristalisasi sekte Ganapatya (Bhatara Kala) yang bertugas untuk menjaga hal-hal yang berusaha untuk mengganggu dan pengusir dari hal-hal yang bersifat negatif. i. Palinggih Bhatara Sami. Dalam pelinggih bhatara sami ini merupakan satu kesatuan dari konsep Siwa Sidhanta diantaranya yaitu (1) Palinggih Limas Sari dan Limas Catu merupakan unsur satu kesatuan dari unsur Pradhana dan Purusa. Dari kedua Palinggih ini jika dikaitakan dalam sumber ajaran Siwa Siddhanta terdapat dalam lontar Tattwa Jnana yang membahas tentang unsur Pradhana dan Purusa. (2) Palinggih Surya merupakan kristalisasi dari sekte Sotra, dimana sekte Sora ini merupakan Dewa Surya yang di anggap paling utama dan sangat diyakini oleh umat bahwa Dewa Surya merupakan pemberi saksi dalam melaksanakan upacara Yajna. Maka dari itu dalam Merajan dibuatkanlah palinggih Surya/Sanggah Surya. (3) Palinggih Panataran Agung. Palinggih ini dalam Merajan merrupakan tempat untuk pengayatan di pura Penataran Agung. Jika dilihat dari tempat-tempat suci penyatuan Siwa Siddhanta, bahwa Pura Penataran Agung merupakan Pura yang terletak di Pura Besakih dan sebagai simbol dari Sapta Loka. (4) Untuk Palinggih Maperucut merupakan tempat untuk pengayatan di Pura Ulu Watu yang merupakan tempet-tempat suci yang sudah mengalami penyatuan konsep Siwa Siddhanta, sedangkan untuk Palinggih Beratap Pane merupakan tempat pengayatan di Pura Batu Karu. Pura Batu Karu ini merupakan tempat suci yang sudah mengalami penyatuan Konsep Siwa Siddhanta. (5) Palinggih Menjangan Salwang merupakan konsep kristalisasi sekte Rsi. Karena adanya pemujaan terhadap Menjangan Salwang merupakan jasa-jasa dari para Rsi yaitu Mpu Kuturan. Beliau juga menyatukan semua sekte-sekte sebelum adanya Siwa Siddhanta. Maka dari itu Mpu Kuturan ini sangat di hormati oleh umatnya. Maka dari itu dibuatkanlah Palinggih Manjangan Salwang. (6) Balai Pesarian, Balai ini juga merupakan satu kesatuan dari Menjangan Salwang bahwa dapat disimpulkan Balai Pesarian ini merupakan kristalisasi dari Sekte Rsi karena Balai ini merupakan tempat untuk penyungsungan para Rsi terdahulu. (7) Kamulan Taksu, Merupakan kristalisasi dari sekte Ganapatya, dimana Bhatara Gana itu merupakan dewa pengusir/memiliki bala/kekuatan untuk menetralisir hal yang negatif. (8) Genah Pralingga merupakan tempat untuk menyiman Pralingga/Pratima. Bagi umat Hindu terutama yang masih berada dalam tingkatan Karma dan Bhakti Marga, apa yang namanya simbol-simbol merupakan cara mudah dan alamiah dalam menjembatani alam pikiran sekala (nyata) menuju ke alam pikiran niskala (abstrak). Disni dapat dilihat dari konsep penyatuan Siwa Siddhanta yaitu dari seumber ajarannya seperti Wrhaspati Tattwa, Tattwa Janana serta Tattwa-Tattwa yang membahas tentang Cetana dan Acetana. Cetana merupakan unsur Kesadaran/sekala sedangkan Acetana unsur ketidak sadaran/niskala. Jadi dapat dikaji mengenai konsep penyatuan Siwa Siddhanta di dalam Merajan Kemiri ini sudah terlihat dalam palinggih-palinggih. Setiap Palinggih memiliki kristalisasi sekte-sekta atau penyatuan dari Konsep ajaran Siwa Siddhanta. III. Penutup Simpulan Dapat disimpulkan bahwa penelitian Merajan yaitu “Merajan Kemiri” dalam penyatuan konsep Siwa Siddhanta sudah ada dalam setiap palinggih-palinggih yang ada di Merajan. Dulu sebelum adanya Merajan sudah ada pemujaan kepada roh leluhur melalui Menhir atau yang disebut dengan Tugu Batu. Sesudah agama Hindu datang ke Bali, tempat pemujaan itu dirubah bentuknya sesuai dengan konsep yang dibawa oleh orang suci seperti Rsi Markandeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga empat putra Hyang Geni Jaya, barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama “Merajan”. Kemudian untuk Mpu Kuturan juga mempersatukan ke sembilan sekte yang ada dengan konsep Tri Murti. Tri Murti yang terdapat di prahayangan jagat, dibuatkan tempat suci bernama khayangan tiga. Pura Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung yaitu untuk memuja Siwa Brahma dan Wisnu. Untuk di Mrajan itu sendiri, Tri Murti dipuja dengan konsep Rong Tiga. Serta ada juga dalam palinggih yang ada di Merajan seperti Sanggah Surya/Palinggih Surya adanya kristalisasi dari sekte Sora, Kemudian untuk Kamulan Taksu terdapat sekte Ganaptya, Menjangan Salwang juga terdapat sekte Rsi dan palinggih lainnya juga merupakan kristalisasi dari ajaran sekte Siwa Siddhanta. DAFTAR PUSTAKA Anonim.2012. “Pura dan Sanggah Pamerajan”. Tersedia pada http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/ diakses tanggal (27 November 2012). Anonim. 2012. “Merajan”. Tersedia pada http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm diakses tanggal (1 Oktober 2012). Anonim. 2012. “Sanggah Pamerajan” Tersedia pada http://stitidharma.org/sanggah-pamerajan-seri-i/ diakses tanggal (1 Oktober 2012). Anom, Ida Bagus. 2009. “Tentang Membangun Merajan”. Denpasar: CV. Kayumas Agung. Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar: Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Manuaba, Ida Pandita Mpu Daksa Yaska Charya. 2011. “Dudonan Nganteb & Mantra Berbagai Jenis Upacara”. Denpasar: Offset BP Denpasar. Pulasari, Jro Mangku. 2009. “Cakepan Alit Puja Weda Mantra”. Surabaya: Paramita Soebandi, Ketut. 2008. “Riwayat Merajan di Bali”. Denpasar: CV. Kayumas Agung. Suhardana, Komang. 2006. “Dasar-Dasar Kepemimpinan”. Surabaya: Paramita. Swastika, I Ketut Pasek. 2005. “Suputra Bhakti Kepada Leluhur”. Denpasar: CV.Kayumas Agung. Winanti, Ni Putu. 2009. “Pura Keluarga dan Pratima”. Denpasar: Offset BP Denpasar. DAFTAR INFORMAN Informan I Nama : I Ketut Saka Tempat, Tanggal Lahir : Penarukan, 31 Desember 1937 Pekerjaan : Pemangku Dalem (Penarukan) Pendidikan Terakhir : SLTA Informan II Nama : I Ketut Mangku Tempat, Tanggal Lahir : Penarukan, 31 Maret 1943 Pekerjaan : Purnawirawan POLRI Pendidikan Terakhir : SLTA Gambar 1. Jro Gede/Penunggu Karang Gambar 2. Gedong Kawita Sumber : Dokumen Pribadi Sumber : Dokumen Pribadi Gambar 3. Penjangan Salwang & Balai Pesarian Gambar 4. Palinggih Sanggah Jajaran Sumber : Dokumen Pribadi Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 5. Gedong Siwa Gambar 6. Balai Pesarian Sumber : Dokumen Pribadi Sumber : Dokumen Pribadi

No comments:

Post a Comment