TUGAS SIWASIDDHANTA II
(SANGGAH MERAJAN)
I. Pendahuluan
Pura Keluarga adalah
pura yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit.
Pura Keluarga juga dinamai Pura Kawitan,
Pamerajan, Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Merajan atau
sanggah dalam sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala dan juga Tri
Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk
memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata.
Dasar dari Tri Angga, Sanggah
atau Merajan yaitu sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah
madyanya yaitu rumah itu sendiri yang di ibaratkan badan manusia, nista
angganya yaitu perkebunan/pekarangan. Seperti struktur badan manusia yang tidak
bisa terpisahkan oleh kepala, badan dan kaki. Dasar Tri Mandala itu sendiri Merajan
dikatakan sebagai utamanya, sedangkan kelurga adalah madyanya dan nistanya
yaitu pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan
dimana arahnya adalah timur ataupun utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah
timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan
seperti tempatnya agak pendek, di hujani cucuran air tetangga dan juga terdapat
sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tersebut
dapat di tinggikan menjadi Merajan.
Dasar Tri Hita Karana dalam
berbicara soal Merajan yaitu sebuah tempat dimana Prahayangan tempat untuk
memuja Tuhan dan roh leluhur menjadi satu. Selain keselarasan antara orang yang
tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam
hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Tattwa dan sejarah pada
saat orang Bali mengenal zaman batu kira-kira 2500SM hingga 500SM sudah
memiliki sebuah keyakinan akan roh leluhur. Namun media untuk melakukan
pemujaan sangatlah sederhana, mereka hanya menggunakan tumpukan tugu ada yang
disebut dengan Menhir dan ada juga
yang dinamakan dengan tugu batu.
Sesudah agama Hindu datang ke Bali, tempat pemujaan itu dirubah bentuknya
sesuai dengan konsep yang dibawa oleh orang suci seperti Rsi Markandeya, Dang
Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga empat putra Hyang Geni
Jaya, barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama Merajan.
Sebelum Mpu Kuturan datang ke
Bali, tahun 1019-1042 zaman pemerintahan raja Erlangga di jawa, beliau
menyatukan sembilan sekte yaitu Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana,
Rsi, Sora, Surya dan Ganapatya. Namun yang paling dominan adalah sekte Siwa
Siddhanta yang semakin banyak dipuja di Bali dari pada dewata yang lain. Mpu
Kuturanlah yang menyatukan tersebut dengan konsep Tri Murti. Tri Murti yang
terdapat di prahayangan jagat, dibuatkan tempat suci bernama khayangan tiga. Pura Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung yaitu
untuk memuja Siwa Brahma dan Wisnu. Untuk di Mrajan itu sendiri, Tri Murti dipuja dengan konsep Rong
Tiga. Dikanan dilinggihkan Brahma, di kiri adalah Wisnu dan ditengah adalah
Siwa. Itulah yang disebut dengan Tri Purusa (Anom, 2009:1-5).
Jadi dengan demikian Khayangan
Tiga dan Merajan adalah mencerminkan berbagai macam aliran yang pernah
berkembang di masyarakat Bali. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang ada.
Dengan mengetahui sejarah pembangunan Merajan tersebut, paling tidak dijadikan
sebuah pedoman bagi kita di masa kini, bahwa leluhur dulu sekitar seribu tahun
yang lalu telah mampu menyelesaikan masalah keberagaman sekte yang tumbuh di
masyarakat dengan sangat bijaksana, sehingga persatuan dan kesatuan masyarakat
masih tetap terjaga.
Jika dilihat dari Lontar Loka
Pala yang berbunyi “...............seperti manusia yang sudah lupa dengan saya.
Sayalah yang menyebabkan ada mereka, saya tiada lain adalah Sang Hyang Guru
Reka, yang mengadakan seluruh isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan
sebutan Dewa Hyang Kawitan yang beraga Sang Hyang Uma Kala dan saya juga yang
dipuja dengan Brahma Wisnu dan Siwa. Ingatlah Semuanya. Menjadi satu dalam Rong
Tiga dan sayalah yang mencipta, saya memelihara dan saya jugalah yang
melebur..........” Dari kutipan itu Jika kita paham, maka berbakti kepada
leluhur lewat mrajan dengan rong tiga adalah sebuah keharusan agar kita selamat
dan terhindar dari bahaya. Dalam lontar Padma
Bhuwana dijelaskan bagaimana sebuah arti dari mrajan itu sendiri sebagai
sebuah tempat untuk memuja kebesaran Tuhan dengan para roh leluhur dengan cara
seperti itu manusia dapat menikmati sebuah kesejahteraan di bumi. Dari lontar
tersebut bahwa Merajan adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan
dan juga para roh leluhur beserta Dewa Tri Murti yang merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan merupakan sebuah upaya manusia
untuk menuju sebuah keadaan yang sejahtera (Anom, 2009:5-8).
II. Pembahasan
1. Pengertian Merajan
Kata sanggar yang secara harafiah berarti kuil atau sangga dalam
kaitan kata anangga yang berarti
memegang tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjunjung atau memuja. Jadi dengan
demikian sanggah berarti tempat suci
untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
berbagai prabawa atau manifestasi
beliau.
Sedangkan untuk kata Merajan/Pamerajan
ialah berasal dari kata raja mendapat awalan “pe” dan “me” serta akhiran “an”
sehingga menjadi pamerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah
Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala
dank arena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa/ bhatara
serta dibuatkan pura Khayangan.
Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki makna atau arti yang sama yakni tempat suci
sebagai tempat pemujaan kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Soebandi,
2008:24).
Pada
saat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi misalnya hari Raya Kuningan, masyarakat
Hindu di Bali biasanya melakukan
berziarah ke tempat-tempat suci tersebut guna memberi hormat sebagai
penghargaan kita kepada roh-roh suci yang telah dhinarma dimasing-masing tempat
tersebut. Akan tetapi karena tempat suci itu letaknya berjauhan dan tidak
mungkin bisa dicapai dalam satu hari perjalanan, sehingga untuk memenuhi
maksud/tujuan, maka tiap ikatan keluarga diwajibkan membuat pamerajan di
Lingkungannya masing-masing sebagai perluasan Sanggah tadi dan didalam halaman
Pamerajan itulah didirikan bangunan/pelinggih, sebagai simbol dari Sad
Khayangan atau Sad Khayangan dalam bentuk mini sebagai tempat penyawangan (Soeka,
1993:14-15).
2.
Fungsi Sanggah/Pamerajan.
Berdasarkan
keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajaan adalah berfungsi:
-
Sebagai tempat suci untuk memuja
Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur/Kawitan.
-
Sebagai tempat berkumpul sanak
keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga.
-
Sebagai tempat kegiatan
sosial/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16).
Menurut Tutur Sasana menyebutkan, fungsi merajan bagi umat Hindu adalah sebagai berikut:
1.
Merajan
sebagai tempat pemujaan roh leluhur. Menurut Lontar Gong Besi yang berbunyi sebagai berikut:
“....ngarania ira sang Atma, ring
Kamulan tengen bapanta nga Sang Paraatma ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang
Siwatma, ring Kamulan Madia raganta, Brahma dadi meme bapa ragane mantuk ring
dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga...”.
Artinya:
“....namanya
beliau Sang Atma pada Kamulan sebelah kanan adalah pelinggih bapakmu bernama
Paratma ada. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Sang Siwatma adalah
Ibu, di Kamulan ruang tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibi-Bapak yang
berwujud Sang Hyang Tunggal, menyatukan wujud....”
Berdasarkan kutipan lontar di atas dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan merupakan tempat
pemujaan terhadap Sang Hyang Atma yang telah mencapai ke alam kedewataan. Adapun
tujuan utama, mengapa roh leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar
keturunannya dapat dengan mudah menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh
leluhur menurut sastra agama sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak
pernah berbakti kepada roh suci leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya,
maka keturunannya akan menemui kesengsaraan (Winanti, 2009:25-26).
2.
Sebagai
Pembina Rohani. Merajan dikatakan memiliki
fungsi sebagai pembina rohani karena di tempat suci itulah sebuah keluarga
dapat meraih ketenangan rohani. Tujuan manusia hidup adalah untuk meraih
kesejahteraan lahir dan batin. Tuhan telah menganugerahi manusia badan jasmani
dan rohani. Jasmani dan rohani itu merupakan alat untuk mencpai tujuan hidup.
Dalam Brahmana Purana disebutkan,
manusia adalah alat untuk mencapai dharma,
artha, kama dan moksa. Tujuan
hidup itu bisa dicapai jika ada keseimbangan jasmani dan rohani. Dengan adanya merajan, keluarga selalu diingatkan pada
aspek-aspek rohani, karena areal merajan adalah
kawasan suci. Dengan adanya areal suci, maka umat setiap saat dimotivasi untuk
menyucikan dirinya (Wianti, 2009:29).
3.
Untuk
Melangsungkan Upacara Perkawinan dan Tuwun Tanah. Selain
sebagai tempat menyembah roh leluhur, fungsi merajan adalah untuk memanjatkan doa dalam melangsungkan upacara
perkawinan. Upacara perkawinan yang dilangsungkan di merajan, di hadapan pelinggih Kamulan adalah upacara “makala-kalaan”. Tujuan upacara itu yakni
mohon anugrah agar pengantin atau pasturi sukses mendapat keturunan yang suputra. Sedangkan untuk melangsungkan
upacara perkawinan, juga untuk melakukan upacara Tuwun Tanah bagi si bayi untuk pertama kalinya. Upacara ini
dilakukan pada waktu si bayi berusia satu oton. Makna upacara ini adalah untuk
memohon kasih sayang dan perlindungan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa atas kehidupan
bayi selama di dunia ini. Permohonan itu agar disaksikan pula oleh Bhatara
Hyang Guru di Kamulan.
4.
Menggalang
Persatuan dan Kesatuan Keluarga. Pada saat melakukan upacara
keagamaan, lebih-lebih pada saat hari raya, masing-masing anggota keluarga
memiliki tugas tersendiri. Misalnya ibu membuatkan banten, ayah menyiapkan
peralatannya, anak-anak menghias merajan atau
wastra, tedung dan sebagainya. Dalam
pelaksanaan ini, maka mereka bekerja sama dan melakukan pekerjaannya dengan
penuh rasa bakti. Jika ini selalu dilakukan, maka anggota keluarga sering
melakukan komunikasi atau curhat sehingga dari komnukasi itu timbuh rasa kasih
sayang sehingga dapat menjaga kerukunan keluarga (Winanti, 2009:34).
5. Sebagai Piranti Pendidikan dan
Disiplin. Fungsi merajan
bagi pendidikan Agama Hindu, yakni merajan
sebagai piranti peningkatan sradha dan
bhakti. Pendidikan agama hindu adalah proses pendewasaan umat melalui
pengajaran dan pendidikan Tri Kerangka ajaran agama Hindu yaitu (1) Tattwa atau
filsafat (2) susila atau etika (3) upacara atau ritual. Ketiga kerangka ini
menuntun umat agar menuju ke jalan yang baik dan benar (Winanti, 2009:35). Dari
ajaran itulah manusia dapat berdisiplin dan tahu untuk apa sebenarnya ia hidup.
6. Sebagai Pemelihara Pembina
Kebudayaan. Dalam melakukan upacara di merajan, ada berbagai macam seni budaya
yang bisa ditampilkan. Misalnya seni ukir, karawitan, seni suara, seni tari dan
sebagainya. Dengan adanya merajan,
maka ada latihan menabuh, melantunkan kidung dan sering di tampilkan tarian,
seperti tari wali rejang renteng, rejang
dewa, topeng. Selain itu oleh karena ada kegiatan di merajan, berkembang pula seni rias, dekorasi dan sebagainya
(Winanti, 2009:38).
3.
Sejarah Singkat Berdirinya Merajan Kemiri
Mpu Dwijaksara yang
datang ke Bali tahun Saka 1265. Disebutkan bahwa beliau punya seorang putra
bernama Mpu Jiwaksara dan bergelar Ki Patih Wulung. Kemudian beliau beristrikan
Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua orang putra yang tertua bernama I Gusti
Smaranata dan adiknya bernama I Gusti Bandesa Manik. Adapun I Gusti Smaranata
beristrikan Ni Ayu Rudini menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare Angon.
Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni
Luh Ayu Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti Rare Angon.
Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran Pasek
dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu sebagai senapati perang oleh Dalem Cili
Kresna Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang di Pasuruan, akhirnya
kalah Sri Aji Pasuruan, namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa marah
Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali,
berikut seluruh kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali, sebagai bukti
beliau telah mengalahkan negeri Pasuruan.
Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran seperti
Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa di balairung. Ia telah berhasil mengalahkan
negeri Pasuruan seperti Aji Pasuruan serta mengahncurkan istana Pasuruan yang
di lapisi permata dan ia mendapatkan gelar menjadi Bandesa Manik Mas hingga
keturunanya. Nama ini diberi atas angurah dari Sri Aji Dalem Waturenggong.
Entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai pemuka Desa Mas secara
bergantian sebagai bandesa di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan.
Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung Anom Sirikan sebagai pemegang
kekuasaan Desa Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna Pangkaja, Dalem
Sukawati sebutan lainnya, sekitar tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar
Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur ke Puri Sukawati, seperti
Tombak, keris, mirah manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir datangnya
kehancuran, Ki Bandesa tidak setuju menyerahkannya karena semua itu adalah
pustaka/ senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus perang maha dahsyat.
Dikisahkan perang mulai berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas telah
bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan, sebelah selatan Desa Mas, semua siap
menunggu kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling penggal,
berhadapan-hadapan dengan perwira, mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh,
karena rasa sayang dan bakti kepada rajanya.
Tak terhitung yang mati dan terluka ibarat perang
Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi Bandesa Manik Mas, bagikan
Abhimaniu yang direbut seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Akhirnya balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada berkutik.
Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka yang masih hidup dan seluruh
keluarganya berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana
Mas. Ada yang bersembunyi di Tangkulak, ada di Badulu,
ada di Tampaksiring, ada di Tegalalang, Pujungan, ada menuju Buleleng, Bon
Dalem, Banyu Atis, Banyuning, Kubu Tambahan, Gitgit, Baturiti, Candi Kuning,
Mengwi Kapal, Kaba-Kaba, Jembrana, Negara, Yeh Embang, Badung, Kapisah,
Pedungan, ada di Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin, ada di Pabangbai, ada
di Karangasem, di Klungkung, Nusa Penida, ada di Abianbase, ada di Balahpane,
ada di Bukit, dan ada di Desa Dusun (perkampungan) memenuhi jagat Bali.
Untuk penyebaran rakyat-rakyatnya
itu yang menuju ke Buleleng. Sehingga dari sinilah Keturunan-keturunannya itu
mendirikan sebuah Merajan untuk pemujaan leluhur dulu yang telah berjasa yaitu
Kyayi Bendesa Manik Mas yang berada di Desa Mas Gianyar. Kemudian untuk
rakyatnya yang ada di Buleleng juga menyebar ada Banyuning, Gitgit, Bon Dalem,
Banyu Atis, Seririt. Untuk daerah Seririt juga mengalami penyebaran ada seririt
Loka Paksa, Pengastulan maupun daerah seririt lainnya. Untuk leleuhur yang ada
di daerah Pengastulan-Seririt inilah merupakan awal dari berdirinya Merajaan
Kemiri yang bertempat tinggal di Desa Penarukan Kecamatan Buleleng-Singaraja. Jadi
para leluhur yang ada di Desa Pengastulan itu telah merantau ke daerah-daerah
dan membuat sanggah/merajan pucuk untuk pemujaan para leluhur yang ada disana.
Agar dalam suatu keluarga itu dapat terciptanya keharmonisan, kesejahteraan dan
kedamaian serta terhindar dari bahaya.
Untuk
Odalan di Merajan Kemiri jatuh pada setiap 10 tahun sekali bertepatan pada Buda
Wage Klowon. Dimna kata dari Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari
Odalan = hari wedal = hari lahir. Jadi pada saat Odalan merupakan hari lahir di-stanakannya
Ida Bethara di Pura atau Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari
upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
Istilah
lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat
itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta
wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu
diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal). (Tersedia pada: http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/)
5.
Pelinggih-Pelinggih Yang Terdapat Di Merajan Kemiri
1) Jro
Gede/ Penunggu Karang.
Jro Gede yang terletak di depan
gapura dari sanggah. Di Bali Jro Gede yang merupakan kristalisasi sekte
Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha yang merupakan tempat berstananya
Dewa Gana, dimana sekte dari Dewa Ganesha/Jro Gede ini berfungsi sebagai
penjaga karang rumah atau sebagai pelindung terhadap makhluk-makhluk yang
berusaha untuk menggangu kita. Selain itu pakaian/wastra saput dari Jro Gede
yang hitam putih itu menandakan keseimbangan yang ada di alam ini.
Untuk canang yang dihaturan pada
saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan, pagerwesi serta
rahianan yang di anggap besar lainnya yaitu dengan menghaturkan canang
raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari. Sedangkan untuk
sehari-harinya menggunakan banten urasari saja.
Mantra yang di ucapkan di
penunggu karang ini yaitu “Ong ang ang
prabhawati sarwa jiwa mrthaya nama swaha, ih ah ing bhupatinya nama swaha”.
2)
Gedong dan Piyasan Siwa.
a) Gedong di Siwa
Gedong
Siwa/Sari yang bentuknya sama dengan gedong lainnya. Bagian bawah adalah dasar
atau bataran, bagian tengah adalah badan yang menyangga ruang gedong yang
bertiang empat. Bagian atas adalah atap yang puncaknya menciut lancip (Winanti,
2009:43). Gedong Siwa/Sari fungsinya adalah persimpangan Pemujaan Dewa-dewa di
Pura-Pura Khayangan Jagat Bali. Yang di Puja disana adalah Dewa-Dewa di Pura
Khayangan Jagat Bali.
Untuk
canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun
kuningan, pagerwesi serta rahianan yang di anggap besar lainnya yaitu dengan
menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi
kepel, serta lauk pauknya. Untuk sehari-harinya menggunakan banten urasari
saja.
Adapun
mantra yang di ucapkan di Gedong Siwa/Sari yaitu: “Ong Suntha yokike namah, sento yokiko pramada namo namah, hina sana
hina widdhi hina mantra, tan teten wangsa tan pramada ya namo namah”
b) Piyasan di Siwa
Balai Pengaruman/Piyasan
merupakan palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dipersembahkan piodalan atau
ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Bale Piysan
(Pahyasan) karena pralingga-pralingga dihias ketika di linggihkan di sini
(Winanti, 2009:45). Pada gamabr di atas dinamakan Piyasan Siwa. Piyasan Siwa
tersebut merupakan tempat pertemuan Ida
Bhatara- Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di sanggah pamerajan.
Wastranya identik dengan warna putih dan kuning yang mengandung makna kesucian.
Mantra yang di ucapkan di piyasan
yaitu:
“Ih Ah Ing Bhupati ya namah sawaha
Ang Ung Mang
Ong Sang Hyang Tunggal Amerthya saktiya
Namah swaha”
Untuk
canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun
kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan,
tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk banten/canang
sehari-harinya menggunakan urasari/lenga wangi.
3). Gedong
dan Piyasan untuk Di Kawitan.
a) Gedong kawitan
Gedong
untuk Kawitan yang merupakan tempat pemujaan terhadap leluhur/tempat
bersthananya para leluhur. Gedong Kawitan ini merupakan tempat penyungsungan
para leluhur kita yang terdahulu sebagai rasa bhakti dan hormat kita terhadap
para leluhur.
Rerahinan
untuk palinggih ini yaitu jatuh pada saat Anggara Kasih Dukut, banten yang di
persembahkan pada saat rahinan ini yaitu Daksina, Pengulapan, Pengambeyan,
Sayut Pebersihan, Sayut yang berisi tipat Cakra Munyeng 2 tanding, Sayut
Pajegan, Sayut Pasunaran, Telaga Pancoran, Sri Sedana, Pasunaran Artha Merta,
Tipat 1 kelan, Canang Sari, Canang Pemendak, Pajegan, Raka-raka, Segehan,
Banyuawangan.
Untuk
canang yang dihaturan pada saat hari raya-hari raya besar seperti galungan
maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan,
tubungan/canang urasari,nasi kepel, serta lauk pauknya. Untuk sehari-harinya menghaturkan
banten urasari/lenga wangi.
Mantra
yang dihaturkan di saat persembahyangan di Palinggih Gedong kawitan yaitu:
Om Brahmà Wisnu Iswara dewam
Tripurusa suddhàtmakam
Tridewa trimurti lokam
Sarwa wighna winasanam
Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu
sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah
Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.
Selain
itu ada juga mantra yang dilantunkan di palinggih ini yaitu:
“Mang Ung Ang, Ang Ung Mang
Ong Hrang Hring sah Tri
Purusa Narendra namah
Ong Sri Cauling dewi
maha waktribhyo
Namah swaha.
Ong Ang Brahma Pagniyan namah
Ong Ung Wisnu antaratma Siwa munaya
Namah swaha”
b). Piyasan Kawitan
Piyasan
Gedong Kawitan ini sama maknanya dengan piyasan yang terdapat pada Piyasan di
Siwa sebagai tempat peristirahatan/tempat pertemuan, namun disini yang
membedakan yaitu di Piyasan Siwa merupakan tempat peristirahatan para dewa-dewa
sedangkan untuk di Piyasan Kawitan yaitu tempat peristirahatan para leluhur.
Wastranya identik dengan warna merah yang mengandung makna keberanian.
Mantra
yang di ucapkan di piyasan yaitu:
“Ih Ah Ing Bhupati ya namah sawaha
Ang Ung Mang
Ong Sang Hyang Tunggal Amerthya saktiya
Namah swaha”
Untuk canang yang dihaturan pada
saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan
menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi
kepel, serta lauk pauknya. Untuk banten sehari-harinya menggunakan ura sari/
lenga wangi.
4)
Kemulan.
Kata
Kemulan yang berasal dari kata Mula (samkrit) yang berarti: akar, umbi, dasar
permulaan, asal (Kamus kecil samkrit-Indonesia, 1983.180). Awalan ka dan
akhiran an menunjukkan tempat, dalam hal ini yang dimkasud yaitu tempat
pemujaan (Swastika, 2007:19). Sejarah tentang Kamulan ini menurut Tattwa jelas
bersumber dari dari ajaran Hindu yaitu dipandang dari sudut aspek Jnana Kanda dan aspek Etika. Aspek Jnana
Kanda adalah bersumber dari Yoga, Wedanta, Samkhya dan Siwa Siddhanta yaitu
identik dengan Tri Purusa Adapun yang mengartikan Kamulan yang terdapat dalam
Merajan Kemiri ada 2 yaitu:
a) Kemulan Rong Dua
Kamulan
Rong Dua ini sangat berbeda sekali dengan penjelasan dari Kamulan itu yang
lebih menekankan pada Tri Purusa, Bhatara Guru maupun Tri Murti. Namun dalam
Merajan Kemiri ini menurut I Ketut Saka menyatakan bahwa Kemulan Rong Dua yang
disebut juga dengan kemulan Nganten. Kalau lebih di telusuri lagi dimana orang
yang Nganten/Menikah itu jika dikaji dalam ajaran-ajaran suci agama orang
menikah itu merupakan pertemuan antara unsur Purusa (Laki-laki) dan Pradana
(Perempuan) yang mengalami pertemuan.
Jika dikaitkan dalam kristalisasi Siwa
Siddhanta dapat dilihat dalam bentuk Panca Yadnya khususnya pada Manusia Yadnya.
Karena Rong Dua tersebut yang akan dijadikan tempat untuk Upacara Manusa Yadnya
seperti upacara pernikahan/pawiwahan yang fungsinya untuk memohon penganugrahan
terhadap pasangan yang baru menikah. Oleh karena itu Rong Dua ini dinamakan
Kemulan Nganten.
Untuk canang yang dihaturan pada
saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan menghaturkan
canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari. Untuk
sehari-harinya menggunakan banten ura sari/ lenga wangi.
b) Kemulan Rong Tiga
Kemulan Rong Tiga merupakan
kristalisasi dari ajaran Siwa Siddhanta yaitu Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa dan
sesuai pula dengan Brahma, Wisnu dan Iswara serta Ia sesuai juga dengan
fungsinya sebagai Guru, maka ia disebut dengan Bhatara Guru yang berdimensi
tiga pula yaitu Guru Purwam (Parama Siwa), Guru Madyam (sadhasiwa), dan Guru
Rupam (siwa). Jadi sesungguhnya yang dipuja pada Kemulan yaitu Hyang Widhi
dalam perwujudan sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa dan Sanghyang
Tri Murti (Brahma, Siwa dan Wisnu) di rong bagian kanan bersemayamnya Brahma,
Tengah Siwa dan sebelah kiri Wisnu.
Dalam lontar Usana dewa yang menyatakan “Yang berstana pada sanggah kamulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan
rong kanan adalah Para Atma yaitu Bapak. Dikemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu
Ibu. Dikemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah
berwujud Sang Hyang Tubuh” (Suhardana, 2006:123).
Maksud
dari pada pembanguan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain
agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya
dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam. Yang dimakasud dari Tri Rnam yaitu
Tiga Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu:
1. Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi
kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita.
2. Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah
membesarkan kita hingga menjadi dewasa.
3. Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita
mengenai agama, kebudayaan dan lain-lain.
Demikian
maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai
anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang
merupakan Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka, 1993:10). Wastra yang
digunakan pada palinggih Rong Tiga ini yaitu Putih dan Kuning dengan makna
kesucian.
Puja
mantra yang dilantunkan di Kamulan yaitu Guru Stawa-Guru Stawa tersebut adalah
sebagai berikut:
“Om dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa sadha nityam, sarwa
jagatjiwatmanam,
Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam,
guru dewa sudha nityam”
Terjemahan:
Dewa-dewa tiga dewa, Dewa
Trimurti yang ada dalam Lingga tiga, Dewa Tri Purusa, yang senantiasa suci yang
menjiwai segenap isi dunia. Dewa yang memberi pengetahuan yang memberi wujud,
yang memberi bumi tempat hidup, yang menjadi asal mula, yang merupakan dewa di
alam sunyata, dewa yang selalu memberikan tuntunan suci (Winanti, 2009:33).
Untuk canang yang dihaturan pada
saat hari raya-hari raya seperti galungan maupun kuningan yaitu dengan
menghaturkan canang raka-raka,berisi buah, jajan, tubungan/canang urasari,nasi
kepel, serta lauk pauknya. Untuk ditujukan roh para leluhur dengan menghaturkan
banten ajuman di letakkan di meja di bawah dari Rong Tiga.
Sedangkan ditinjau dari aspek
Etika adalah kewjiban (swadharma) dari keturunan atau pretisentana untuk selalu
memuja leluhur. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh Umat Hindu di
Indonesia khususnya di Bali adalah bersumber dari ajaran Agama Hindu yang lazim
disebut dengan Sraddha (Swastika,
2007:24).
5) Palinggih
Segara
Bangunan ini adalah
pengayatan segara, fungsinya untuk menstanakan dewa baruna sebagai dewa lautan
dan sebagai pembersih dari kekotoran (leteh). Banten yang dihaturkan pada saat
hari raya yaitu banten penyacak yang
isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan jajan
diatasnya ditaruh tubungan. Untuk banten sehari-harinya menggunakan banten ura
sari/lenga wangi.
Puja mantra yang di
lantunkan pada palinggih ini yaitu:
“Om Jala nidhi murti dewam
Brahma Wisnu masariram
Ghoraya ghora ghurnitam
Rudra murti ghornataram”
6) Taksu
Taksu adalah nama sebuah pelinggih yang
terdapat disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, Gedong Siwa dan Kamulan Taksu.
Taksu berarti daya Magic atau sakti.
Sakti adalah simbol daripada Bala
atau Kekuatan (Swastika, 2007:19). Makna Taksu dalam merajan yaitu :
Indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah.
manasas tu para budhir
yo buddheh pratas tusah.
(Bhagawad Gita Gita IV.42).
Maksudnya:
indriyebhyah param manah.
manasas tu para budhir
yo buddheh pratas tusah.
(Bhagawad Gita Gita IV.42).
Maksudnya:
Sempurnakanlah indriamu, tetapi
kesempurnaan indria berada di bawah kesempurnaan pikiran, kekuatan pikiran
berada dalam pencerahan kesadaran budhi. Yang paling suci adalah Atman.
Memelihara kesehatan indria agar
dapat berfungsi secara sempurna merupakan upaya hidup sehari-hari yang wajib
dilakukan. Indria tersebut adalah alat untuk dapat kita merasakan adanya suka
dan duka dalam kehidupan ini. Cuma indria yang sehat sempurna itu harus
digunakan di bawah kendali pikiran yang cerdas. Kecerdasan pikiran itu dilandasi
oleh kesadaran budhi yang bijaksana. Struktur diri yang demikian itulah yang
akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam wujud perilaku.
Indria, pikiran dan kesadaran
budhi yang mampu menjadi media kesucian Atman itulah yang menyebabkan orang
disebut mataksu dalam hidupnya. Kata ''taksu'' berasal dari kata ''aksi''
artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah
menyebabkan orang disebut mataksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata
fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisis oleh pandangan pikiran yang
cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang
demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi.
Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang mataksu.
a) Taksu yang terdapat di samping Gedong Siwa
Taksu yang terdapat disamping Gedong
Siwa merupakan simbol sakti yang memiliki kekuatan magis. Banten yang di
haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor,
atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan.
Adapun mantra yang
dilantunkan untuk di pelinggih taksu ini yaitu:
“Ong Ang Ah Mahadewi Jagatpati ya, namo namah swaha,
Ong Ung Prajapati ya namah, Ong Ing Prapitaya namah, Ong Mang Mataya namah, Ong
Ing Paramatyanamah”.
7) Tugu
Panglurah
Bangunan ini merupakan palinggih
Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas
sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan
(Winanti, 2009:42). Dalam
Penghayatan agama Immanent ( sekala ) Tugu Panglurah adalah palinggih ( Sthana
) para Lurah, iringan pengawal para Dewa Istadewata Hyang Widhi, yang di puja
pada waktu hari Subadewasa. Upacara yang dilaksanakan di suatu pura atau
sanggah atau Merajan. Fungsinya adalah sebagai Pengawal Pribadi dari Ista
Dewata Hyang Widhi.
Selain itu makna pelinggih
Panglrah ini adalah untuk menstanakan Sang Catur Sanak yang telah suci. Sang
Hyang Atma yang telah suci berstana di palinggih
pretisentana atau keturunannya yang masih hidup (Wianti, 2009:32).
Palinggih Pangrurah ini merupakan manifesatsi dari Sang Hyang Widhi dengan
Swabhawa “Bhuta Dewa” yang maksudnya
setengah Dewa setengah Bhuta. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para dewa,
disamping itu sebagai juru bicara antara dewa, Dewata dengan manusia dengan
umatnya. Dengan kata lain Beliau sebagai penyampai dari sembah bhaktinya umat,
dan penyampai anugrah dari para dewa. (Sudarsana, 1998:70)
Banten yang di haturkan pada
tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan
jajan diatasnya ditaruh tubungan.
Mantra yang dihaturkan untuk di
Tugu Panglurah yaitu:
“Ong Ang Brahmana nama; Ung Wisnu Antaratma namah;
Mang Iswara Paramatmane namah; Ong Sadarudra Antyaatmana namah; Sadasiwa
niskalatmana namah; Paramasiwa sunyatmana namah; Ih Ah Ing Panglurah Sedan ya
namah swaha” (Manuaba, 2011:244).
8)
Bhatara Sami.
Pelinggih
yang berjejer dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara
Sami yang disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping
pelinggih Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari
Sanggah Jajaran Kemiri. Kemudian Padmasana/Sanggah Surya yang berada di
tengah-tengah itu merupakan tempat berstananya Bhatara Surya (Sekte Sora).
Untuk disebelah kirinya Padmasana/Sanggah Surya yang dinamakan pelinggih
Penataran Agung, (Beratap Pane) Batukaru, (Maperucut) Uluwatu, Menjangan
Salwang. Disebelah kanannya Limas Sari dan Limas Catu.
Banten yang di haturkan setiap
palinggih di jajaran Kamiri ini tentunya pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor,
atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan. Sedangkan untuk
tiap harinya biasanya hanya menganturkan banten urasari.
a) Limas Sari
Limascari merupakan
manifestasi sebagai pradana dan
menjadi satu kesatuan dengan pelinggih limascatu. Kedua pelinggih ini
menggambarkan fungsi sebagai ardanareswari: pradana – purusha dan
mengandung makna rwa bhineda
Mantram yang di
lantunkan di palinggih ini yaitu:
“Ong Ang Geng Genijaya ya namah
Ong Ang dewa dewi maha siddhi
Sarwa Karya Siddhi tuwi siddhaya
dirgahayu
Namah swaha”
b) Limas Catu
Gambar 13.
Palinggih Limas catu
Sumber: Dokumen
Pribadi
Bangunan ini
disebut limascatu dimana Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai purusha (laki-laki) dan menjadi
satu kesatuan dengan bangunan limasari dalam manifestasi sebagai ardanareswari:
pradana – purusha dan mengandung makna rwa bhineda.
c) Sanggah Surya/Sanggar Surya
Sanggah Surya atau
disebut Sanggah Natah atau Sanggah Pangijeng. Fungsinya adalah untuk menyinari
semua yang ada di paekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan
itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat .
Yang Malinggih di
sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari
Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga
Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk
mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan
terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan
nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa.
d) Palinggih Penataran Agung
Pelinggih Penataran Agung merupakan
palinggih untuk pengayatan di pura Penataran Agung yang terletak di Pura
Besakih. Pura Penataran Agung merupakan simbol dari Sapta Loka tergolong Pura
Luhuring Amabal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyoginya melakukan bhakti
kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi serta bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada
umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan
dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan
konsep Weda kitab suci agama Hindu (Gunawan, 2012:8-9).
e) Palinggih Beratap Pane dan Palinggih Maperucut
Palinggih beratap pane dan yang malinggih di
Gedong Matudung pane adalah Ida Bethara di Gunung Lebah dan menjadi satu
kesatuan dengan pelinggih beratap perucut yang merupakan stana Ida
Bethara di Gunung Agung. Untuk
Palinggih yang beratap pane sebagai tempat pengayatan Pura di Batu Karu yang
merupakan stana dari Dewa Mahadewa jika dilihat dari Dewata nawa sangga. Batu
Karu ini menempati arah Barat, dengan warna Kuning. Sedangkan untuk Palinggih
Maperucut merupakan palinggih untuk pengayatan pura yang ada di Uluwatu merupakan
stana dari Dewa Rudra yang menempati arah Barat Daya. Filsafat konsep ini adalah men-simbolkan Hyang Widhi
sebagai “rwa bhineda” yakni salah satu bentuk pemujaan kita
terhadap kemaha kuasaan-Nya.
Konsep rwa bhineda ini adalah konsep penghayatan Hyang Widhi yang senantiasa menciptakan
sesuatu yang berwujud berlawanan misalnya: siang-malam, laki-perempuan,
baik-buruk, tinggi-rendah, panjang-pendek, panas-dingin, dan seterusnya. Konsep rua bhineda ini kemudian berkembang di Bali
karena para Maha Rsi melihat alam Bali yang unit, yaitu adanya Gunung yang
tertinggi, yaitu Gunung Agung dan Gunung yang terendah, yaitu Gunung Batur atau
disebut juga sebagai Gunung Lebah.
Dengan melihat keunikan alam ini kita akan
menghayati betapa kebesaran Hyang Widhi yang telah menciptakannya. Tuntunan
para Maha Rsi seperti Rsi Markandeya dan Mpu Kuturan kepada umat Hindu di Bali
agar mewujudkan kebesaran Hyang Widhi itu dalam palinggih yang beratap Kerucut
dan yang beratap Pane. Dengan “nyasa” atau simbol itu manusia yang
bersembahyang akan merasakan getaran kemaha kuasaan-Nya
e) Palinggih Menjangan Seluang/Salwang
Makna Palinggih Manjangan
Salwang yaitu bangunan yang bertiang lima buah mengandung makna simbol Panca Rsi, Kepala Menjangan mengandung
makna Sang Putus atau Maha Rsi,
Binatang menjangan bertandung bercabang-cabang mengandung maksud kekuasaan Kerajaan Majapahit (Sudarsana,
1998:58).
Menjangan Salwang yang
disebut juga dengan Sanggah Lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utama
palinggih ini yaitu terdapat sebuah kepala Menjangan (Suhardana, 2006:120-121).
Dibuatkan pelinggih ini yaitu untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di
Bali. Empu Kuturan ialah
seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu pemerintahan
Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga.
Empu Kuturan di kenal sebagai salah satu
tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali Antara lain :
-
Adanya Khayangan
Tiga di Desa-Desa Pakraman
-
Adanya Khayangan
Jagat
-
Adnyan Sad
Kahyangan Di Bali
-
Tata Cara
Penyelenggaraan Desa Pakraman.
-
Tata Cara
Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya.
-
Mengenal Arsitektur
tradisional Bali.
-
Palinggih-Palinggih
Meru,Tugu dan Gedong.
Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu
beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan
menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan
lain-lainnya. Sebenarnya, sebelum
paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan,
sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan.
Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana
Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933
yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli
Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit
mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali yaitu :
-
Empu Semeru,
-
Empu Gana,
-
Empu Kuturan,
-
Empu Gnijaya,
-
Empu Baradah.
Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja
Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas
penanganan tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “Samuan Tiga” hasil keputusan Samuan tersebut
mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua
sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya
yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang
Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
Mantram yang di lantunkan
di palinggih Menjangan Salwang ini yaitu:
“Ong Ang Mang Dewi
dimuteri bhuwana triyo
Prathisthabhyo samudra
jagat guru bhyo namah swaha
Ong ah Suka dewi maha
Laksmi
Sri Giripati sukla
pawitrani swaha”
9) Balai Pesarian/Pesaren
Menurut Jro Mangku I
Ketut Saka menyatakan bahwa Bangunan ini disebut Balai Pesarian yang merupakan
satu kesatuan dengan bangunan Menjangan Seluang. Seperti dijelaskan pada Pelinggih
Menjangan Seluang (Salwang) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu
Kuturan di Bali beserta empu yang lainnya seperti ; Empu
Semeru, Empu Garia, Empu Gnijaya dan Empu Baradah. Begitu pula
dengan bangunan Balai Pesarian ini yaitu untuk menghormati jasa-jasa Rsi
terutama Mpu Kuturan. Banten yang di haturkan pada
tiap-tiap hari raya yaitu banten Raka-raka yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor, atasnya diisi daun,buah dan
jajan, tumpeng, lauk pauk di atasnya di taruh canang tubungan. Untuk sehari-harinya menghaturkan canang ura sari/lenga
wangi. Wastra yang dipergunakan yaitu warna merah dengan makna keberanian.
Mantra yang
dilantunkan yaitu :
Ong Ang Brahma atma yenamah
Ong Ung Wisnu antaratma yenamah
Ong Mang Sri Prajapati
Ye namah swaha
10) Kamulan Taksu
Letak dari Kemulan
Taksu di bagian Selatan Menghadap ke Utara yang bersebelahan dengan Balai
Pesarian/Pesaren. Seperti yang sudah di jelaskan di atas kata “taksu” itu
berarti daya Magic atau Sakti. Jadi
dengan demikian tempat yang paling dekat dan bisa dilakukan secara rutin setiap
hari dalam melaksanakan Bhakti kepada para Leluhur ada di Sanggah Kamulan-Taksu (Swastika, 2005:19). Fungsi dari Kamulan
Taksu ini adalah untuk memohon “Kesidhian”
atau Keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, balian, guru,
pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan lain-lainnya. Wastra yang digunakan
yaitu hitam putih (poleng) dengan makna lambang keseimbangan.
Yang Malinggih di
sana adalah Ratu Nyoman Sakti Pangadangan sebagai Dewaning Taksu. Bisa juga
Sang Bhuta Kala Raja sebagai Sedahan Taksu. Banten
yang di haturkan pada tiap-tiap hari raya yaitu banten penyacak yang isinya alasnya menggunakan ingke/bokor,
atasnya diisi daun,buah dan jajan diatasnya ditaruh tubungan.
11) Genah Pralingga
Genah Pralingga (tempat menyimpan) Bagi umat Hindu terutama
yang masih berada dalam tingkatan Karma dan Bhakti Marga, apa yang namanya
simbol-simbol merupakan cara mudah dan alamiah dalam menjembatani alam pikiran
sekala (nyata) menuju ke alam pikiran niskala (abstrak). Misalnya Kewangen merupakan salah satu contoh simbol Hyang Widhi
sebagai Ardhanareswari. Begitu juga
gambar Acintya yang sering disebut Sanghyang Licin juga merupakan simbol
Hyang Widhi yang tak terpikirkan. Sistem pemujaan dengan simbolisasi ini lazim
disebut dengan istilah Murti Puja yang acapkali digunakan sebagai simbol dalam
Murti Puja ini adalah patung.
Dalam wacana Hindu
di Bali apa yang disebut patung sebenarnya dapat dibedakan atas beberapa
istilah seperti: arca, pratima, togog dan lain-lain. Secara fisik material
sesungguhnya benda tersebut memiliki persamaan terutama dilihat dari segi bahan
yang digunakan, yaitu umumnya memakai batu, katu dan logam. Kecuali pratima
yang bisa juga dibuat dari bahan permata, batu indah, uang kepeng dan
lain-lain.
Yang membedakan arca, pratima dan togog itu adalah dari
segi proses pembuatan, fungsinya dan lokasi penempatannya. Arca dan pratima kedua-duanya adalah patung perwujudan dari Hyang
Widhi (Dewa) atau Bhatara-Bhatari. Dalam pembuatannya, arca dan pratima melalui proses sakralisasi (penyucian) dan
pasupati (menjadikan “berjiwa”). Karena arca
dan pratima itu akan berfungsi sebagai media penuntun bhakti umat ke
hadapan Hyang Widhi, para Dewa dan Bhatara-Bhatari.
Dalam fungsinya di
alam pikiran seorang yang bhakti, bukan fisik material dari simbol itu yang
dituju melainkan “zat” yang ada dan
telah hidup padanya. Karena arca dan
pratima merupakan simbol sakral, maka penempatannya pun tidak boleh
sembarangan. Arca dan pratima sudah lumrah disthanakan pada tempat suci (pura).
Dan pada waktu piodalan biasanya disthanakan di Bale Pengaruman. Sebutan lain
yang memiliki arti dan fungsi tidak jauh berbeda dengan pratima adalah
pralingga dan patapakan.
Selanjutnya
mengenai togog. Dari segi proses
pembuatannya togog umumnya tidak
melalui sakralisasi, karena hanya berfungsi sebagai dekorasi semata.
Penempatannya pun boleh sesuka hati yang empunya, contohnya: togog pohon
kelapa, togog penari janger, dan lain-lainnya. Sedangkan bedogol yang biasanya
dibuat dari ukuran agak lebih besar dari togog memiliki fungsi ganda. Bisa
berfungsi magis (melalui pasupati) dan dapat pula berfungsi dekoratif (hiasan).
Penempatannya biasanya di depan candi bentar, pura, palinggih, dan
tempat-tempat yang dipandang tenget.
Hari Raya untuk
pralingga-pralingga yang ada di palinggih Genah Pralingga yaitu jatuh pada saat
Buda Wage Kelawu dengan mempersembahkan banten Daksina, Pengulapan,
Pengambeyan, Sayut Pebersihan, Sayut Madan-adan berjumlah 5, Sayut Artha Merta
1 tanding, Sayut Pasunaran, Telaga Pancoran 1 tanding, Sri Sedana 1 tanding
yang (bahannya semua menggunakan taledan sayut), Semara Dewa, Semara Ratih
dengan menggunakan cempaka, Sayut, Peras, Ajengan, Ketututan Naga Sari, Ketipat
1 kelan, Canang Sari, Canang Pemendak, Segehan, Banyuawangan, Pajegan 1
tanding, Raka-raka 1 tanding, Sayut Pajegan.
Sedangkan untuk
pada hari raya besar banten yang di haturkan di palinggih ini yaitu banten
raka-rakaan yang terbentuk dari alasnya bokor, talam atau yang sejenisnya, di
atasnya di lapisi dengan daun,kemudian buah, jajan, kacanag, serta lauknya di
tata dan diatasnya di isi dengan canang tubungan/urasari dan untuk sehari-hari
yaitu menghaturkan Ura Sari.
6. Konsep Penyatuan Siwa Siddhanta dalam Merajan
Dalam Merajan yang sudah di paparkan dapat di lihat
dari penyatuan Siwa Siddhanta yaitu dilihat dari setiap palinggih-palinggihnya
yaitu :
a. Jro Gede/Penunggu
Karang ini kristalisasi sekte Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha. Karena
Penunggu karang ini merupakan palinggih yang difungsikan untuk menjaga karang,
mengendalikan unsur-unsur negatif. Maka dari itu Jro Gede/Penunggu Karang ini
termasuk dalam sekte Ganpatya.
b. Dari pemujaan untuk semua para dewa pada di Gedong Siwa/Sari dan Piyasaran
Siwa dapat dilihat bahwa disini menyatakan sudah adanya
penyatuan dari semua sekte yaitu Siwa Siddhanta Karena dalam Gedong Siwa/Bata
ini mengandung makna untuk tempat pemujaan semua para Dewa-dewa.
c.
Gedong
Kawitan dengan Piyasannya disini Merupakan Kristalisasi
dari ajaran Siwa Siddhanta terutama pada sekte Rsi karena pemujaan terhadap
leluhur yang sudah menyebarkan agama. Dalam ajaran sekte Rsi merupakan
orang-orang suci yang sudah meneruskan keturunan dan memberikan wejangan
agama-agama. Maka dari itu atas jasa beliau ia di puja di Gedong Kawitan. Selain dari sekte Rsi, disini juga temui
konsep penyatuan Siwa Siddhanta yaitu jika dilihat dari segi banten dan
mantra-mantra yang dihaturkan dalam Gedong Kawitan tersebut.
d. Kamulan Rong Dua yang disebut dengan Kamulan Nganten. Orang yang
menikah. Nganten dilihat dari filosofinya merupakan pertemuan unsur Purusa dan Pradhana, dilihat dari
sumber-sumber ajaran Siwa Siddhnta yaitu Tattwa
Jnana juga membahas tentang ajaran Purusa dan Pradhana. Dari Pradhanatattwa mempunyai sifat-sifat
lupa, maka hal itu disebut dengan Pradhana-Purusa
yang melahirkan citta dan guna. Citta
adalah bentuk kasarnya Purusa, sedangkan guna adalah penjelmaan Pradhana Tattwa
(Gunawan, 2012:65). Jadi dalam Kamulan Rong Dua sudah mengandung konsep
penyatuan Siwa Siddhanta jika dilihat dari sumber-sumber ajaran Siwa Sidhanta.
e. Kamulan Rong Tiga, juga mengandung konsep penyatuan Siwa Siddhanta
jikia dilihat dari Sumber-sumber ajaran Siwa Siddhanta yaitu dalam lontar
Wrahaspati Tattwa yaitu ajaran tentang Cetana (unsur kesadaran) yang terdiri
dari tiga jenis bagian yaitu Paramasiwa
Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Siwatma Tattwa. Ktiganya ittu merupakan Sang Hyang
Widhi sendiri yang berbeda kesadarannya (Gunawan, 2012:58). Jadi dalam konsep
Tri Purusa dari sumber ajaran Siwa Siddhanta dalam Rong Tiga yaitu rong sebelah
kanan Parama Atma/Parama Siwa Tattwa,
Tengah Sadha Siwa Tattwa dan paling
kiri Siwa Atma/Siwatma Tattwa. Dalam Lontar Bhuwana Kosa menyatakan bahwa
sumber adanya kehidupan yaitu Tri Murti (Gunawan, 2012:52). Dalam Rong Tiga
juga merupakan simbolis dari Tri Murti yaitu
Brahma terletak di rong bagian
selatan/kanan, Siwa rong bagian tengah dan Wisnu rong di bagian utara/kiri.
Selain dari sumber ajarannya dari segi mantra juga menyatakan tentang ajaran
Siwa Siddhanta diantaranya mantranya yaitu “Om dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa
sadha nityam, sarwa jagatjiwatmanam,
Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam,
guru dewa sudha nityam”.
f. Palinggih Segara, Palinggih ini yang berfungsi untuk pengayatan di
Pura Segara tentunya dewa-dewa yang ada di pura segara diantaranya yaitu Dewa
Baruna atau dewa sebagai pembersih. Jadi konsep penyatuan Siwa Siddhanta juga
terdapat palinggih segara karena dilihat dari pemujaan para dewa-dewa.
g. Taksu. Makna Taksu yaitu daya magic/sakti. Sakti yang
mengandung simbol Bala atau Kekuatan. Disini dapat dilihat dari sekte
Ganapatya. Dimana Dewa Ganesha yang diyakini sebagai dewa mengusir hantu/dewa
pengusir daya magic yang negatif.
h. Tugu Panglurah merupakan palinggih Bhatara Kala putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai
pecalang atau penjaga sanggah pamerajan (Winanti,
2009:42). Maka dari itu disini
merupakan kristalisasi sekte Ganapatya (Bhatara Kala) yang bertugas untuk
menjaga hal-hal yang berusaha untuk mengganggu dan pengusir dari hal-hal yang
bersifat negatif.
i.
Palinggih Bhatara Sami. Dalam pelinggih
bhatara sami ini merupakan satu kesatuan dari konsep Siwa Sidhanta diantaranya
yaitu (1) Palinggih Limas Sari dan Limas
Catu merupakan unsur satu kesatuan dari unsur Pradhana dan Purusa. Dari
kedua Palinggih ini jika dikaitakan dalam sumber ajaran Siwa Siddhanta terdapat
dalam lontar Tattwa Jnana yang membahas tentang unsur Pradhana dan Purusa. (2) Palinggih Surya merupakan kristalisasi
dari sekte Sotra, dimana sekte Sora ini merupakan Dewa Surya yang di anggap
paling utama dan sangat diyakini oleh umat bahwa Dewa Surya merupakan pemberi
saksi dalam melaksanakan upacara Yajna. Maka dari itu dalam Merajan
dibuatkanlah palinggih Surya/Sanggah Surya. (3) Palinggih Panataran Agung. Palinggih ini dalam Merajan merrupakan
tempat untuk pengayatan di pura Penataran Agung. Jika dilihat dari
tempat-tempat suci penyatuan Siwa Siddhanta, bahwa Pura Penataran Agung
merupakan Pura yang terletak di Pura Besakih dan sebagai simbol dari Sapta
Loka. (4) Untuk Palinggih Maperucut
merupakan tempat untuk pengayatan di Pura Ulu Watu yang merupakan tempet-tempat
suci yang sudah mengalami penyatuan konsep Siwa Siddhanta, sedangkan untuk Palinggih Beratap Pane merupakan tempat
pengayatan di Pura Batu Karu. Pura Batu Karu ini merupakan tempat suci yang
sudah mengalami penyatuan Konsep Siwa Siddhanta. (5) Palinggih Menjangan Salwang merupakan konsep kristalisasi sekte
Rsi. Karena adanya pemujaan terhadap Menjangan Salwang merupakan jasa-jasa dari
para Rsi yaitu Mpu Kuturan. Beliau juga menyatukan semua sekte-sekte sebelum
adanya Siwa Siddhanta. Maka dari itu Mpu Kuturan ini sangat di hormati oleh
umatnya. Maka dari itu dibuatkanlah Palinggih Manjangan Salwang. (6) Balai Pesarian, Balai ini juga merupakan
satu kesatuan dari Menjangan Salwang bahwa dapat disimpulkan Balai Pesarian ini
merupakan kristalisasi dari Sekte Rsi karena Balai ini merupakan tempat untuk
penyungsungan para Rsi terdahulu. (7) Kamulan
Taksu, Merupakan kristalisasi dari sekte Ganapatya, dimana Bhatara Gana itu
merupakan dewa pengusir/memiliki bala/kekuatan untuk menetralisir hal yang
negatif. (8) Genah Pralingga
merupakan tempat untuk menyiman Pralingga/Pratima. Bagi umat Hindu terutama
yang masih berada dalam tingkatan Karma dan Bhakti Marga, apa yang namanya
simbol-simbol merupakan cara mudah dan alamiah dalam menjembatani alam pikiran
sekala (nyata) menuju ke alam pikiran niskala (abstrak). Disni dapat dilihat
dari konsep penyatuan Siwa Siddhanta yaitu dari seumber ajarannya seperti
Wrhaspati Tattwa, Tattwa Janana serta Tattwa-Tattwa yang membahas tentang
Cetana dan Acetana. Cetana merupakan unsur Kesadaran/sekala sedangkan Acetana
unsur ketidak sadaran/niskala.
Jadi dapat dikaji mengenai
konsep penyatuan Siwa Siddhanta di dalam Merajan Kemiri ini sudah terlihat
dalam palinggih-palinggih. Setiap Palinggih memiliki kristalisasi sekte-sekta
atau penyatuan dari Konsep ajaran Siwa Siddhanta.
III. Penutup
Simpulan
Dapat disimpulkan
bahwa penelitian Merajan yaitu “Merajan Kemiri” dalam penyatuan konsep Siwa
Siddhanta sudah ada dalam setiap palinggih-palinggih yang ada di Merajan. Dulu
sebelum adanya Merajan sudah ada pemujaan kepada roh leluhur melalui Menhir
atau yang disebut dengan Tugu Batu. Sesudah agama Hindu datang ke
Bali, tempat pemujaan itu dirubah bentuknya sesuai dengan konsep yang dibawa
oleh orang suci seperti Rsi Markandeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang
Hyang Nirartha dan juga empat putra Hyang Geni Jaya, barulah dibuatkan sebuah
tempat yang bernama “Merajan”.
Kemudian untuk Mpu Kuturan juga
mempersatukan ke sembilan sekte yang ada dengan konsep Tri Murti. Tri Murti yang
terdapat di prahayangan jagat, dibuatkan tempat suci bernama khayangan tiga. Pura Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung yaitu
untuk memuja Siwa Brahma dan Wisnu. Untuk di Mrajan itu sendiri, Tri Murti dipuja dengan konsep Rong Tiga.
Serta ada juga dalam palinggih yang ada di Merajan seperti Sanggah
Surya/Palinggih Surya adanya kristalisasi dari sekte Sora, Kemudian untuk
Kamulan Taksu terdapat sekte Ganaptya, Menjangan Salwang juga terdapat sekte
Rsi dan palinggih lainnya juga merupakan kristalisasi dari ajaran sekte Siwa
Siddhanta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012. “Pura dan Sanggah
Pamerajan”. Tersedia pada http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/ diakses tanggal (27 November 2012).
Anonim. 2012. “Merajan”. Tersedia
pada http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm diakses
tanggal (1 Oktober 2012).
Anonim. 2012. “Sanggah Pamerajan”
Tersedia pada http://stitidharma.org/sanggah-pamerajan-seri-i/ diakses tanggal (1 Oktober 2012).
Anom, Ida Bagus.
2009. “Tentang Membangun Merajan”.
Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar:
Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Manuaba, Ida Pandita Mpu Daksa
Yaska Charya. 2011. “Dudonan Nganteb
& Mantra Berbagai Jenis Upacara”. Denpasar: Offset BP Denpasar.
Pulasari, Jro
Mangku. 2009. “Cakepan Alit Puja Weda
Mantra”. Surabaya: Paramita
Soebandi, Ketut.
2008. “Riwayat Merajan di Bali”.
Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Suhardana,
Komang. 2006. “Dasar-Dasar Kepemimpinan”.
Surabaya: Paramita.
Swastika, I Ketut Pasek. 2005. “Suputra Bhakti Kepada Leluhur”.
Denpasar: CV.Kayumas
Agung.
Winanti, Ni Putu. 2009. “Pura Keluarga dan Pratima”. Denpasar:
Offset BP Denpasar.
No comments:
Post a Comment