KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI BALI DENGAN PANCA YADNYA
Panca yadnya merupakan lima macam korban suci yang tulus ikhlas. Panca yadnya
terdiri dari: Dewa Yadnya, pitra Yadnya, Manusa yadnya, Rsi Yadnya dan Butha
Yadnya. Kelima bagian dari panca yadnya tersebut tidak bisa
terlepas dari umat Hindu karena kegiatan panca yadnya telah tumbuh dan
berkembang menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia Hindu.
Melakukan Upacara Yadnya menjadi langkah bagi umat Hindu yang
diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Yadnya adalah salah satu penyangga bumi. Upacara agama
adalah salah satu bagian dari pelaksanaan Yadnya sebagai dasar pengembalian Tri
Rna. Weda mengajarkan bahwa Tuhan
menciptakan alam semesta ini berdasarkan Yadnya. Karena itu manusia yang
bermoral akan merasa berhutang kepada Tuhan.
Umat
Hindu melakukan Dewa Yadnya sebagai
rasa bhakti umat kepada Tuhan dan melakukan Bhuta
Yadnya untuk memelihara semua ciptaan Tuhan ini.
Rasa berhutang kepada leluhur (Pitra) diwujudkan dengan
berbhakti kepada leluhur atau Pitra dalam bentuk Pitra Yadnya dan mengabdi kepada keturunan, karena keturunan
tersebut pada hakekatnya adalah leluhurlah yang menjelma. Mengabdi kepada keturunan dalam bentuk Manusa Yadnya pada
hakekatnya juga kita melakukan Pitra Yadnya secara philosofis. Terciptanya ajaran-ajaran moral, spiritual dan ajaran-ajaran
mengenai kehidupan duniawi yang baik menuju kesejahteraan hidup jasmaniah
merupakan jasa-jasa para Resi. Manusia yang bermoral akan
merasakan betapa besarnya hutang umat manusia pada para Resi tersebut, maka
dari itu manusia wajib beryadnya kepada para Rsi (Agastia, 2000:1-2).
Kaitan
sekte-sekte terhadap Panca Yadnya sangat erat.
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi:
a)
Siwa Sidhanta,
Sekte Siwa memiliki banyak
cabang antara
lain: Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat. Ajaran Siwa
Sidhanta adalah ajaran yang paling besar pengikutnya. Kata
dari Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa
Sidhanta merupakan kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha,
yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Stana Tri Purusa di Bali dalam
Wrhaspati Tattwa, Sang Hyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusha, yaitu:
Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa (Pasek, 2012:48).
Parama-Siwa, adalah Sang Hyang Widhi dalam
keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang,
kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta. Sadha-Siwa,
adalah Sang Hyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur.
Siwa adalah Sang Hyang Widhi yang utaprota sehingga nampak
berwujud sebagai makhluk hidup. Tri Purusa juga
sebagai niyasa Tri Murti. Perkembangan Siwa Sidhanta yang
diawali di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India
Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
b)
Pasupata
Sekte Pasupata termasuk sekte pemuja Siwa. Letak perbedanya
dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dari cara
pemujaannya. Cara dari pemujaan sekte Pasupata ini menggunakan
Lingga yang dijadikan simbol sebagai tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa.
Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri
khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata yang
ada di Bali yaitu dengan adanya pemujaan Lingga. Pada
pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang
dibuat sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu (Pasek, 2012:48).
c)
Brahmana
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan
Siwa Sidhanta. Sekte Brahmana di India disebut dengan
Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana,
Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra
merupakan produk dari sekte Brahmana (Pasek, 2012:49).
d)
Waisnawa
Munculnya
sekte Waisnawa di Bali yang diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di
Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri yang dipandang sebagai pemberi rejeki, kebahagiaan dan
kemakmuran. Para petani di Bali, Dewi Sri dipandang
sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama dan merupakan
sumber kemakmuran serta kesejahteraan. Bukti dari berkembangnya
sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga (Pasek,
2012:49).
e)
Sora
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte
Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem
pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari
terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat
sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama
di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya (Sang Hyang Surya
Raditya) yang dijadikan sebagai dewa yang memberikan pesaksian bahwa seseorang telah
melakukan yadnya (Pasek, 2012:49).
f)
Bodha dan Sogatha
Adanya
sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda
tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika.
Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.
Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra
Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi.
Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca
Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah,
dan di tempat lain (Pasek, 2012:49).
g)
Rsi
Mengenai
sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada
suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal
dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah
Dewa rsi atau Raja rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara
raja-raja dari Wangsa Ksatria (Pasek, 2012:49).
h)
Gonapatya
Sekte
Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesha.
Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya
ditemukan arca Ganesha baik dalam wujud besar maupun kecil. Arca Ganesha ada berbahan batu padas atau dari logam yang biasanya
tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah
sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena
itu, pada dasarnya Ganesha diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya,
seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyeberangan sungai, dan
sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesha
dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan.
Akibatnya, patung Ganesha itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus,
melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain
(Pasek, 2012:40).
i)
Bhairawa
Sekte
Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama.
Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap
desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan
pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara
(sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra,
yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup
dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini (Pasek, 2012:50).
Kristalisasi
sekte-sekte yang ada di Bali juga dapat kita lihat pada seluruh Desa yang ada
di Bali. Setiap Desa di Bali memiliki Khayangan
Tiga yaitu Pura Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa, Pura Segara untuk pemujaan Dewa
Wisnu dan Pura Desa merupakan tempat pemujaan bagi Dewa Brahma. Di setiap Desa
juga ada Pura Bedugul atau Pura subak yang merupakan tempat pemujaan Dewi Sri sebagai Dewi kesejahteraan, kesuburan atau kemakmuran.
Krisatalisasi
sekte-sekte yang ada di Bali dalam hubungan Panca Yadnya sudah hampir semua
mencakup dari sekte-sekte di Bali. terutama bebantenan
hampir semua sekte-sekte yang ada di Bali sudah termuat di dalam banten-banten baik upacara Dewa
Yadnya, Manusa Yadnya, Resi Yadnya, Bhuta Yadnya dan Pitra Yadnya, seperti porosan yang melambangkan Tri Murti,
didalam bebantenan porosan paling sering digunakan. Bagian
dari Porosan diantaranya Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma.
Selain itu bahan-bahan yang terdapat dalam pelaksanaan
Upakara seperti Menyan yang
melambangkan Siwa, Majegau yang
melambangkan Sada Siwa dan Cendana melambangkan
Parama Siwa (Surayin, 2004: 59-60).
Selain
bebantenan bentuk sarana dan prasana pelaksanaan Panca Yadnya merupakan
penggabungan dari sekte-sekte misalnya Air
(Tirta) yang melambangkan Dewa Wisnu, Bija
melambangkan Dewi Sri, karena bija yang berasal dari padi yang merupakan
symbol kesejahteraan. Dupa melambangkan Dewa Agni. Bunga melambangkan seluruh kesejahteraan dimana dalam
warna-warna bunga jika dikaitkan dalam Dewata Nawa Sangga, warna-warna bunga
itu merupakan simbolis para dewa-dewa.
Kristalisasi
sekte-sekte dalam Upacara Panca Yadnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Dewa Yadnya
Dewa Yadnya yaitu korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan
kepada Dewa/Ida Sang Hyang Widhi. Kaitan Dewa Yadnya
dalam kristalisasi sekte-sekte yang ada di Bali.
1.1 Berdasarkan Pawukon.
Jika
dilihat dari sekte Siva Siddhanta yang merupakan Dewa Siwa yang tertinggi.
Siwa juga disebut dengan nama lain seperti Sangkara, Mahadewa, Rudra, Iswara, dan Nilakantha (Pandit, 2005:210). Pemujaan terhadap Dewa Siwa berdasarkan nama-nama lain atau
manifestasi dari Dewa Siwa dapat dikaji berdasarkan Pawukan yaitu.
a. Hari selasa Wage, wuku Sinta yang disebut dengan
hari Sabuh Mas dan hari selasa Kliwon wuku Kulantir.
Hari
Sabuh Mas adalah hari pesucian Bhatara Mahadewa dan hari yang jatuh pada Kliwon
wuku kulantir merupakan puja walinya Bhatara Mahadewa.
Sang Hyang Siwa disini sebagai manifestasi dari Bhatara
Mahadewa. Pelaksanaannya dilakukan dengan menghaturkan
upakara pada kekayaan yang berupa mas, permata dan sejenisnya serta pada saat
puja walinya pemujaan dilakukan di Sanggah Kemulan (Agastia, 2000:55-58).
b.
Hari Rabu Kliwon wuku Sinta, disebut Budha Kliwon Pagerwesi.
Hari
ini adalah hari payogannya Sang Hyang Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang
Hyang Pramesti Guru disertai oleh para Dewa, menciptakan dan mengembangkan
kelestarian kehidupan di dunia ini. Para pendeta pada hari
ini dianjurkan untuk melaksanakan weda
apasang lingga, memuja kehadapan Sang Hyang Pramesti Guru (Agastia,
2000:56).
c.
Hari Sabtu Kliwon wuku Landep yang disebut dengan Tumpek Landep.
Hari
ini merupakan hari puja walinya Bhatara Siwa serta hari peyogannya Hyang
Pasupati (Agastia, 2000:58).
d.
Hari Sabtu Kliwon wuku Wariga yang disebut dengan Tumpek Panguduh.
Pemujaan
pada hari ini ditujukan kepada Sang Hyang Sangkara, beliau yang menciptakan dan
melestarikan semua tumbuh-tumbuhan yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan
bagi kehidupan di dunia ini. Makna dari upacara ini yaitu memohon kepada Sang
Hyang Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dapat hidup dengan subur, dan
memberi bunga dan buahnya yang dibutuhkan dalam kehidupan, terutama untuk
menyambut hari raya Galungan 25 hari yang akan datang (Agastia, 2000:58).
e.
Sanisacara Kliwon wuku Uye yang disebut dengan hari raya Tumpek Kandang.
Pelaksanaan
upacaranya dilakukan melalui binatang-binatang.
Dilihat dari pelaksanaan upakaranya seperti Upakara di
Sanggar, dipersembahkan kehadapan Bhatara Siwa dalam manifestasi sebagai Sang
Hyang Rare Angon, yang menguasai semua binatang besar maupun kecil (Agastia,
2000:68-69).
f.
Hari Sabtu Kliwon wuku Wayang, disebut dengan Tumpek Wayang.
Hari
ini merupakan pemujaan Sang Hayng Siwa yang menjadi manifestasi sebagai Iswara.
Pemujaan pelaksanaan dilakukan melalui semua jenis yang bisa bersuara seperti : gong, gender, gambang, gendongan serta wayang
(Agastia, 2000:58-59).
g.
Hari Selasa Kliwon wuku Tambir, disebut dengan Anggara Kasih.
Hari
ini merupakan pemujaan terhadap Dewa Siwa, karena pada saat ini Dewa Siwa
mengaruniakan kemakmuran. Memohon
agar para penyembahnya dapat melaksanakan dharma suci untuk menghilangkan
segala pengganggu dunia (Anandakusuma, 2006:11).
Berdasarkan pawukon Sekte Waisnawa jatuh pada hari Senin Pon, wuku
Sinta dan hari Rabu Paing wuku Kuningan. Pada hari
Senin Pon wuku Sinta disebut dengan hari Some
Ribek. Hari ini merupakan hari sebagai pemujaan
Dewi Sri. Pelaksanaan pemujaannya dengan jalan
menghaturkan upacara di lumbung serta penyimpanan beras. Sedangkan untuk hari Rabu Paing wuku Dungulan merupakan puja wali
Bhatara Wisnu. Pelaksanaan upacara tersebut dilakukan
di Sanggah/Merajan masing-masing diakhiri dengan persembahyangan (Agastia,
2012:55). Pada hari Rabu Wage wuku Klawu merupakan
hari pemujaan terhadap Dewa Wisnu memohon agar beliau mengaruniakan
perlindungan (Anandakusuma, 2006:14). Kemudian pada Sukra Umanis wuku
Klawu ditujukan pada dewi Sri sakti dari Dewa Wisnu,
pada saat ini dilarang menumbuk padi dan menjual beras. Terlebih dahulu wajib
mempersembahkan sesajen : canang raka, canang sari,
air dan asap dupa (Anandakusuma, 2006:14).
Sekte
Bhairawa dapat dikaji pada hari raya Galungan yang jatuh pada saat Buda Kliwon
Dungulan. Disini lebih menekankan pemujaan
terhadap Uma yang merupakan nama lain dari Durga, dalam
aspek Santa (damai) pada saat ini umat memohon anugerah kepada-Nya. Hari
Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau juga sebagai
Uma, Durga atau Siva Mahadeva, sedangkan bagi umat Hindu di Bali ditujukan
kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara
Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan,
akhir dari rangkaian perayaan Galungan (Agastia, 2000:55-69). Bila dikaji pada hari Selasa Paing wuku Bala pemujaan ditujukan terhadap
Durga. Wajib mempersembahkan sajen berupa canang raka, canang sari,
canang wangi, air, dupa dan melakukan brata : jangan
marah, membunuh, menyakiti, menganiaya, tidak jujur dan lain-lainnya
(Anandakusuma, 2006:13).
Sekte
Gonaptya dalam kristalisasi Panca Yadnya dapat dikaji pada hari Kamis Wage wuku
Sungsang atau disebut dengan hari raya “Sugihan
Jawa” yang merupakan hari untuk pemujaan Dewa Ganesa.
Hari ini Para Pandita dan umat wajib menyucikan diri, melakukan tapa, yoga,
brata, semadhi dan memanjatkan doa untuk keamanan dan
kemakmuran dunia (Anandakusuma, 2006:5).
1.2 Berdasarkan Panca Wara.
Upacara
Dewa Yadnya yang berdasarkan Panca Wara yaitu pada hari Kliwon.
Hari ini merupakan hari peyogaan/semadinya Bhatara Siwa
(Sekte Siva Siddhanta). Umat Hindu pada hari ini dianjurkan untuk
melaksanakan tapa, bertirta gocara bersuci diri dan menyucikan pikiran. Untuk hari Selasa Kliwon, disebut dengan Anggara Kasih. Pada hari ini merupakan hari peyogaannya Sang Hyang Siwa
manifestasi sebagai Bhatara Rudra, beliau beryoga untuk menghilangkan kekotoran
alam semesta. Selain itu umat Hindu dianjurkan untuk
melaksanakan yoga agar dapat menghilangkan mala petaka dan rintangan yang ada
pada diri. (Agastia, 2000:71-72).
Untuk mengetahui
kristalisasi sekte Pasupata dapat dikaji melalui lingga, seperti contoh pura
yaitu pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di
arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil.
Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol
pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari
sekte Siwa Pasupata.
Tiga
Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa.
Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam
fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa
sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung
Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan
pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka
tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai
kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai
Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat
dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing
Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan
dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut.
Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan
kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa
bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.
2)
Pitra Yadnya
Pitra
Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada para leluhur.
Upacara Pitra Yadnya kaitan dalam kristalisasi sekte-sekte lebih ditonjolkan
pada sekte Sora, karena pada sekte Sora pemujaannya terhadap Dewa Surya/ Sang
Hyang Siwa Raditya, misalnya setelah orang tua meninggal pada rangkaian upacara
memandikan mayat, pada saat maktiang mayat ke Sang Hyang Siwa Raditya untuk
memohon tirta pengelukatan dan pebersihan (Agastia, 2000:177).
3)
Bhuta Yadnya
Upacara
Bhuta Yadnya merupakan Upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala.
Kaitan Bhuta Yadnya terhadap Kristalisai sekte-sekte lebih
menekankan pada Bhairawa dan Gonapatya. Misalnya Untuk sekte Bhairawa pada
saat Kajeng Kliwon dengan menghaturkan kepelan dan lauk garam dan bawang jae, masing-masing dipersembahkan kehadapan Sang Kala
Bucari, Sang Bhuta Bucari dan Sang Durga Bucari (Agastia, 2000:177). Sedangkan sekte Gonapatya dilakukan dalam bentuk Pecaruan, seperti
pecaruan Ngersi Gana atau pecaruan jenis yang lainnya. Upacara pecaruan amat penting dilakukan karena hubungan kepercayaan
kita terhadap alam semesta, dimana unsur lain-lain/kegiatan-kegiatan lain yang
bernada usil-ugil yang mengganggu dan mengusik (Surayin, 2003:61).
4)
Rsi Yadnya
Rsi
Yadnya merupakan persembahan yang mendalam kepada para Rsi/ orang suci.
Sekte Rsi, Bodha dan Sogatha jika dikaji dalam konsep Panca Yadnya terutama
pada Rsi Yadnya, karena dalam melaksanakan upacara yang besar seperti Tawur
Kesanga, Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra Biasanya yang muput Tri Sadaka,Sang
Tri Sadaka yang dimaksud yaitu Sulinggih Siwa, Sulinggih Buddha (Sekte Bodha)
atau yang sering diucapkan dengan Sang Resi, Siwa Sogata (sekte Sogatha).
Ketiga Sulinggih ini mempunyai wewenang khusus sebagai berikut:
a.
Sulinggih Siwa. Sulinggih Siwa berfungsi sebagai pembersih
atau penyucian alam semesta atas yaitu akasa. Melalui
pujanya Sang Sulinggih Siwa berwenang menghaturkan munggah ke sanggar Surya
yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih Siwa ini berasal dari mazab Siwa. Artinya Sang Sulinggih Siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas
dan menurunkan kekuatan dari Sang Hyang Widhi.
b.
Sulinggih Buddha : mempersembahkan atau mengaturkan yadnya pada alam tengah
atau awing-awang. Sang Sulinggih Buddha berasal dari mazab
Buddha yang memiliki keahlian menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan
suci Hyang Widhi dengan kekuatan Bhuta Kala yang telah disomya di alam bawah.
c. Sang Sulinggih Resi, Bhujangga, Sengghu : beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau
menyucikan alam bawah (bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai
keahlian menyucikan alam bawah dan untuk nyupat Bhuta-kala atau menetralisir
kekuatan-kekuatan Bhuta-kala sehingga menjadi somya (Agastia, 2000:152-153).
Untuk kristalisasi sekte Brahmana dapat dikaji melalui upacara Rsi
Yadnya. Jika dilihat dari arti kata Rsi berarti pendeta (orang suci), petapa dan Brahmana. Para Brahmana/orang suci/sulinggih yang nantinya dapat mempelajari ilmu
pengetahuan yang terdapat dalam Weda dan kemudian mengamalkan serta mengajarkan
kepada masyarakat sebagai mana mestinya (Agastia, 2000:141-143).
5)
Manusa Yadnya
Upacara
Manusa Yadnya dari sekte yang dapat dikaji dari upacara dan upakara.
Pada sekte Siva Sidhanta, sekte ini lebih menekankan pada Tri
Purusa yang juga sebagai niyasa Tri Murti. Jika
dilihat pada rangkaian upacara Manusa Yadnya diantaranya yaitu Ngayab/Natab. Didalam
lontar Aggastyaparwa disebutkan bahwa jasmani manusia ditempati oleh kekuatan
para Dewa misalnya hati ditempati oleh Dewa Brahma, empedu oleh Dewa Wisnu dan
jantung oleh Dewa Iswara. Maka dari itu saat
“ngayab/natab” tangan diarahkan di dada. Untuk dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara
tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu
tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Untuk sekte Sora dapat dilihat dari rangkaian upacara saat
bersembahyang (Muspa). Pada saat Muspa persembahyangan
ditujukan kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya (Betara Surya) sebagai saksi
(Agastia, 2000:198-199). Pada rangkaian Upacara Manusa Yadnya seperti
mejaya-jaya yang bertujuan agar Dewa Surya Raditya (Bhatara Surya) menganugrahkan
penerangan suci dan Dewa Tri Murti agar mengaruniakan kekuatan Uttpati, Stithi
dan Pralina pada diri (Anandakusuma, 1985:30).
DAFTAR PUSTAKA
Agastia,
Ida Bagus Gede, dkk. 2000. Panca Yadnya. Denpasar:
Pemerintah Provinsi Bali.
Anandakusuma,
Sri Reshi. 2006. Aum Upacara Dewa Yadnya.
Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Anandakusuma,
Sri Reshi. 1985. Aum Upacara Manusa
Yadnya. Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Anonim. 2008. "Jejak Panjang Bhujangga Waisnawa". Tersedia
pada http://saradbali.com/edisi99/tatwa.htm.
diaskes tanggal (29
Maret
2012).
No comments:
Post a Comment