Thursday, January 2, 2014


 KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI BALI DENGAN PANCA YADNYA

Panca yadnya merupakan lima macam korban suci yang tulus ikhlas. Panca yadnya terdiri dari: Dewa Yadnya, pitra Yadnya, Manusa yadnya, Rsi Yadnya dan Butha Yadnya. Kelima bagian dari panca yadnya tersebut tidak bisa terlepas dari umat Hindu karena kegiatan panca yadnya telah tumbuh dan berkembang menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia Hindu. Melakukan Upacara Yadnya menjadi langkah bagi umat Hindu yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Yadnya adalah salah satu penyangga bumi. Upacara agama adalah salah satu bagian dari pelaksanaan Yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Weda mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini berdasarkan Yadnya. Karena itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Tuhan.
Umat Hindu melakukan Dewa Yadnya sebagai rasa bhakti umat kepada Tuhan dan melakukan Bhuta Yadnya untuk memelihara semua ciptaan Tuhan ini. Rasa berhutang kepada leluhur (Pitra) diwujudkan dengan berbhakti kepada leluhur atau Pitra dalam bentuk Pitra Yadnya dan mengabdi kepada keturunan, karena keturunan tersebut pada hakekatnya adalah leluhurlah yang menjelma. Mengabdi kepada keturunan dalam bentuk Manusa Yadnya pada hakekatnya juga kita melakukan Pitra Yadnya secara philosofis. Terciptanya ajaran-ajaran moral, spiritual dan ajaran-ajaran mengenai kehidupan duniawi yang baik menuju kesejahteraan hidup jasmaniah merupakan jasa-jasa para Resi. Manusia yang bermoral akan merasakan betapa besarnya hutang umat manusia pada para Resi tersebut, maka dari itu manusia wajib beryadnya kepada para Rsi (Agastia, 2000:1-2).
Kaitan sekte-sekte terhadap Panca Yadnya sangat erat. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi:
a) Siwa Sidhanta,
Sekte Siwa memiliki banyak cabang  antara lain: Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat. Ajaran Siwa Sidhanta adalah ajaran yang paling besar pengikutnya. Kata dari Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta merupakan kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Stana Tri Purusa di Bali dalam Wrhaspati Tattwa, Sang Hyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusha, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa (Pasek, 2012:48).
 Parama-Siwa, adalah Sang Hyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta. Sadha-Siwa, adalah Sang Hyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Siwa adalah Sang Hyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai makhluk hidup. Tri Purusa juga sebagai niyasa Tri Murti. Perkembangan Siwa Sidhanta yang diawali di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.

b) Pasupata
            Sekte Pasupata termasuk sekte pemuja Siwa. Letak perbedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dari cara pemujaannya. Cara dari pemujaan sekte Pasupata ini menggunakan Lingga yang dijadikan simbol sebagai tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata yang ada di Bali yaitu dengan adanya pemujaan Lingga. Pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibuat sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu (Pasek, 2012:48).


c) Brahmana
            Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Sekte Brahmana di India disebut dengan Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana (Pasek, 2012:49).

d) Waisnawa
Munculnya sekte Waisnawa di Bali yang diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri yang dipandang sebagai pemberi rejeki, kebahagiaan dan kemakmuran. Para petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama dan merupakan sumber kemakmuran serta kesejahteraan. Bukti dari berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga (Pasek, 2012:49).

e) Sora
            Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya (Sang Hyang Surya Raditya) yang dijadikan sebagai dewa yang memberikan pesaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya (Pasek, 2012:49).

f) Bodha dan Sogatha
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain (Pasek, 2012:49).



g) Rsi
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewa rsi atau Raja rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria (Pasek, 2012:49).

h) Gonapatya
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesha. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesha baik dalam wujud besar maupun kecil. Arca Ganesha ada berbahan batu padas atau dari logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu, pada dasarnya Ganesha diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyeberangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesha itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain (Pasek, 2012:40).

i) Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini (Pasek, 2012:50).
Kristalisasi sekte-sekte yang ada di Bali juga dapat kita lihat pada seluruh Desa yang ada di Bali. Setiap Desa di Bali memiliki Khayangan Tiga yaitu Pura Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa, Pura Segara untuk pemujaan Dewa Wisnu dan Pura Desa merupakan tempat pemujaan bagi Dewa Brahma. Di setiap Desa juga ada Pura Bedugul atau Pura subak yang merupakan tempat pemujaan Dewi Sri sebagai Dewi kesejahteraan, kesuburan atau kemakmuran. 
Krisatalisasi sekte-sekte yang ada di Bali dalam hubungan Panca Yadnya sudah hampir semua mencakup dari sekte-sekte di Bali. terutama bebantenan hampir semua sekte-sekte yang ada di Bali sudah termuat  di dalam banten-banten baik upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Resi Yadnya, Bhuta Yadnya dan Pitra Yadnya, seperti porosan yang melambangkan Tri Murti, didalam bebantenan porosan paling sering digunakan. Bagian dari Porosan diantaranya Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma. Selain itu bahan-bahan yang terdapat dalam pelaksanaan Upakara seperti Menyan yang melambangkan Siwa, Majegau yang melambangkan Sada Siwa dan Cendana melambangkan Parama Siwa (Surayin, 2004: 59-60).
Selain bebantenan bentuk sarana dan prasana pelaksanaan Panca Yadnya merupakan penggabungan dari sekte-sekte misalnya Air (Tirta) yang melambangkan Dewa Wisnu, Bija melambangkan Dewi Sri, karena bija yang berasal dari padi yang merupakan symbol kesejahteraan. Dupa melambangkan Dewa Agni. Bunga melambangkan seluruh kesejahteraan dimana dalam warna-warna bunga jika dikaitkan dalam Dewata Nawa Sangga, warna-warna bunga itu merupakan simbolis para dewa-dewa.


Kristalisasi sekte-sekte dalam Upacara Panca Yadnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Dewa Yadnya
            Dewa Yadnya yaitu korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada Dewa/Ida Sang Hyang Widhi. Kaitan Dewa Yadnya dalam kristalisasi sekte-sekte yang ada di Bali.
1.1 Berdasarkan Pawukon.
Jika dilihat dari sekte Siva Siddhanta yang merupakan Dewa Siwa yang tertinggi. Siwa juga disebut dengan nama lain seperti Sangkara, Mahadewa, Rudra, Iswara, dan Nilakantha (Pandit, 2005:210). Pemujaan terhadap Dewa Siwa berdasarkan nama-nama lain atau manifestasi dari Dewa Siwa dapat dikaji berdasarkan Pawukan yaitu.
a. Hari selasa Wage, wuku Sinta yang disebut dengan hari Sabuh Mas dan hari selasa Kliwon wuku Kulantir.
Hari Sabuh Mas adalah hari pesucian Bhatara Mahadewa dan hari yang jatuh pada Kliwon wuku kulantir merupakan puja walinya Bhatara Mahadewa. Sang Hyang Siwa disini sebagai manifestasi dari Bhatara Mahadewa. Pelaksanaannya dilakukan dengan menghaturkan upakara pada kekayaan yang berupa mas, permata dan sejenisnya serta pada saat puja walinya pemujaan dilakukan di Sanggah Kemulan (Agastia, 2000:55-58).
b. Hari Rabu Kliwon wuku Sinta, disebut Budha Kliwon Pagerwesi.
Hari ini adalah hari payogannya Sang Hyang Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru disertai oleh para Dewa, menciptakan dan mengembangkan kelestarian kehidupan di dunia ini. Para pendeta pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan weda apasang lingga, memuja kehadapan Sang Hyang Pramesti Guru (Agastia, 2000:56).
c. Hari Sabtu Kliwon wuku Landep yang disebut dengan Tumpek Landep.
Hari ini merupakan hari puja walinya Bhatara Siwa serta hari peyogannya Hyang Pasupati (Agastia, 2000:58).
d. Hari Sabtu Kliwon wuku Wariga yang disebut dengan Tumpek Panguduh.
Pemujaan pada hari ini ditujukan kepada Sang Hyang Sangkara, beliau yang menciptakan dan melestarikan semua tumbuh-tumbuhan yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan bagi kehidupan di dunia ini. Makna dari upacara ini yaitu memohon kepada Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dapat hidup dengan subur, dan memberi bunga dan buahnya yang dibutuhkan dalam kehidupan, terutama untuk menyambut hari raya Galungan 25 hari yang akan datang (Agastia, 2000:58).
e. Sanisacara Kliwon wuku Uye yang disebut dengan hari raya Tumpek Kandang.
Pelaksanaan upacaranya dilakukan melalui binatang-binatang. Dilihat dari pelaksanaan upakaranya seperti Upakara di Sanggar, dipersembahkan kehadapan Bhatara Siwa dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Rare Angon, yang menguasai semua binatang besar maupun kecil (Agastia, 2000:68-69).
f. Hari Sabtu Kliwon wuku Wayang, disebut dengan Tumpek Wayang.
Hari ini merupakan pemujaan Sang Hayng Siwa yang menjadi manifestasi sebagai Iswara. Pemujaan pelaksanaan dilakukan melalui semua jenis yang bisa bersuara seperti : gong, gender, gambang, gendongan serta wayang (Agastia, 2000:58-59).
g. Hari Selasa Kliwon wuku Tambir, disebut dengan Anggara Kasih.
Hari ini merupakan pemujaan terhadap Dewa Siwa, karena pada saat ini Dewa Siwa mengaruniakan kemakmuran. Memohon agar para penyembahnya dapat melaksanakan dharma suci untuk menghilangkan segala pengganggu dunia (Anandakusuma, 2006:11).
            Berdasarkan pawukon Sekte Waisnawa jatuh pada hari Senin Pon, wuku Sinta dan hari Rabu Paing wuku Kuningan. Pada hari Senin Pon wuku Sinta disebut dengan hari Some Ribek. Hari ini merupakan hari sebagai pemujaan Dewi Sri. Pelaksanaan pemujaannya dengan jalan menghaturkan upacara di lumbung serta penyimpanan beras. Sedangkan untuk hari Rabu Paing wuku Dungulan merupakan puja wali Bhatara Wisnu. Pelaksanaan upacara tersebut dilakukan di Sanggah/Merajan masing-masing diakhiri dengan persembahyangan (Agastia, 2012:55). Pada hari Rabu Wage wuku Klawu merupakan hari pemujaan terhadap Dewa Wisnu memohon agar beliau mengaruniakan perlindungan (Anandakusuma, 2006:14). Kemudian pada Sukra Umanis wuku Klawu ditujukan pada dewi Sri sakti dari Dewa Wisnu, pada saat ini dilarang menumbuk padi dan menjual beras. Terlebih dahulu wajib mempersembahkan sesajen : canang raka, canang sari, air dan asap dupa (Anandakusuma, 2006:14).
Sekte Bhairawa dapat dikaji pada hari raya Galungan yang jatuh pada saat Buda Kliwon Dungulan. Disini lebih menekankan pemujaan terhadap Uma yang merupakan nama lain dari Durga, dalam aspek Santa (damai) pada saat ini umat memohon anugerah kepada-Nya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau juga sebagai Uma, Durga atau Siva Mahadeva, sedangkan bagi umat Hindu di Bali ditujukan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan, akhir dari rangkaian perayaan Galungan (Agastia, 2000:55-69). Bila dikaji pada hari Selasa Paing wuku Bala pemujaan ditujukan terhadap Durga. Wajib mempersembahkan sajen berupa canang raka, canang sari, canang wangi, air, dupa dan melakukan brata : jangan marah, membunuh, menyakiti, menganiaya, tidak jujur dan lain-lainnya (Anandakusuma, 2006:13).
Sekte Gonaptya dalam kristalisasi Panca Yadnya dapat dikaji pada hari Kamis Wage wuku Sungsang atau disebut dengan hari raya “Sugihan Jawa” yang merupakan hari untuk pemujaan Dewa Ganesa. Hari ini Para Pandita dan umat wajib menyucikan diri, melakukan tapa, yoga, brata, semadhi dan memanjatkan doa untuk keamanan dan kemakmuran dunia (Anandakusuma, 2006:5).

1.2 Berdasarkan Panca Wara.
Upacara Dewa Yadnya yang berdasarkan Panca Wara yaitu pada hari Kliwon. Hari ini merupakan hari peyogaan/semadinya Bhatara Siwa (Sekte Siva Siddhanta). Umat Hindu pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan tapa, bertirta gocara  bersuci diri dan menyucikan pikiran. Untuk hari Selasa Kliwon, disebut dengan Anggara Kasih. Pada hari ini merupakan hari peyogaannya Sang Hyang Siwa manifestasi sebagai Bhatara Rudra, beliau beryoga untuk menghilangkan kekotoran alam semesta. Selain itu umat Hindu dianjurkan untuk melaksanakan yoga agar dapat menghilangkan mala petaka dan rintangan yang ada pada diri. (Agastia, 2000:71-72).
Untuk mengetahui kristalisasi sekte Pasupata dapat dikaji melalui lingga, seperti contoh pura yaitu pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.

2) Pitra Yadnya
Pitra Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada para leluhur. Upacara Pitra Yadnya kaitan dalam kristalisasi sekte-sekte lebih ditonjolkan pada sekte Sora, karena pada sekte Sora pemujaannya terhadap Dewa Surya/ Sang Hyang Siwa Raditya, misalnya setelah orang tua meninggal pada rangkaian upacara memandikan mayat, pada saat maktiang mayat ke Sang Hyang Siwa Raditya untuk memohon tirta pengelukatan dan pebersihan (Agastia, 2000:177).

3) Bhuta Yadnya
Upacara Bhuta Yadnya merupakan Upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kaitan Bhuta Yadnya terhadap Kristalisai sekte-sekte lebih menekankan pada Bhairawa dan Gonapatya. Misalnya Untuk sekte Bhairawa pada saat Kajeng Kliwon dengan menghaturkan kepelan dan lauk garam dan bawang jae, masing-masing dipersembahkan kehadapan Sang Kala Bucari, Sang Bhuta Bucari dan Sang Durga Bucari (Agastia, 2000:177). Sedangkan sekte Gonapatya dilakukan dalam bentuk Pecaruan, seperti pecaruan Ngersi Gana atau pecaruan jenis yang lainnya. Upacara pecaruan amat penting dilakukan karena hubungan kepercayaan kita terhadap alam semesta, dimana unsur lain-lain/kegiatan-kegiatan lain yang bernada usil-ugil yang mengganggu dan mengusik (Surayin, 2003:61).

4) Rsi Yadnya
Rsi Yadnya merupakan persembahan yang mendalam kepada para Rsi/ orang suci. Sekte Rsi, Bodha dan Sogatha jika dikaji dalam konsep Panca Yadnya terutama pada Rsi Yadnya, karena dalam melaksanakan upacara yang besar seperti Tawur Kesanga, Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra Biasanya yang muput Tri Sadaka,Sang Tri Sadaka yang dimaksud yaitu Sulinggih Siwa, Sulinggih Buddha (Sekte Bodha) atau yang sering diucapkan dengan Sang Resi, Siwa Sogata (sekte Sogatha). Ketiga Sulinggih ini mempunyai wewenang khusus sebagai berikut:

a. Sulinggih Siwa. Sulinggih Siwa berfungsi sebagai pembersih atau penyucian alam semesta atas yaitu akasa. Melalui pujanya Sang Sulinggih Siwa berwenang menghaturkan munggah ke sanggar Surya yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih Siwa ini berasal dari mazab Siwa. Artinya Sang Sulinggih Siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan kekuatan dari Sang Hyang Widhi.
b. Sulinggih Buddha : mempersembahkan atau mengaturkan yadnya pada alam tengah atau awing-awang. Sang Sulinggih Buddha berasal dari mazab Buddha yang memiliki keahlian menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan suci Hyang Widhi dengan kekuatan Bhuta Kala yang telah disomya di alam bawah.
c. Sang Sulinggih Resi, Bhujangga, Sengghu : beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau menyucikan alam bawah (bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian menyucikan alam bawah dan untuk nyupat Bhuta-kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta-kala sehingga menjadi somya (Agastia, 2000:152-153).
            Untuk kristalisasi sekte Brahmana dapat dikaji melalui upacara Rsi Yadnya. Jika dilihat dari arti kata Rsi berarti pendeta  (orang suci), petapa dan Brahmana. Para Brahmana/orang suci/sulinggih yang nantinya dapat mempelajari ilmu pengetahuan yang terdapat dalam Weda dan kemudian mengamalkan serta mengajarkan kepada masyarakat sebagai mana mestinya (Agastia, 2000:141-143).

5) Manusa Yadnya
Upacara Manusa Yadnya dari sekte yang dapat dikaji dari upacara dan upakara. Pada sekte Siva Sidhanta, sekte ini lebih menekankan pada Tri Purusa yang juga sebagai niyasa Tri Murti. Jika dilihat pada rangkaian upacara Manusa Yadnya diantaranya yaitu Ngayab/Natab. Didalam lontar Aggastyaparwa disebutkan bahwa jasmani manusia ditempati oleh kekuatan para Dewa misalnya hati ditempati oleh Dewa Brahma, empedu oleh Dewa Wisnu dan jantung oleh Dewa Iswara. Maka dari itu saat “ngayab/natab” tangan diarahkan di dada. Untuk dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Untuk sekte Sora dapat dilihat dari rangkaian upacara saat bersembahyang (Muspa). Pada saat Muspa persembahyangan ditujukan kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya (Betara Surya) sebagai saksi (Agastia, 2000:198-199). Pada rangkaian Upacara Manusa Yadnya seperti mejaya-jaya yang bertujuan agar Dewa Surya Raditya (Bhatara Surya) menganugrahkan penerangan suci dan Dewa Tri Murti agar mengaruniakan kekuatan Uttpati, Stithi dan Pralina pada diri (Anandakusuma, 1985:30).  
           



DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus Gede, dkk. 2000. Panca Yadnya. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Anandakusuma, Sri Reshi. 2006. Aum Upacara Dewa Yadnya. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Anandakusuma, Sri Reshi. 1985. Aum Upacara Manusa Yadnya. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Anonim. 2008. "Jejak Panjang Bhujangga Waisnawa". Tersedia pada http://saradbali.com/edisi99/tatwa.htm. diaskes tanggal (29
 Maret 2012).





No comments:

Post a Comment